Bayangkan begini: Anda seorang *gamer* yang bercita-cita tinggi, tapi terjebak dalam lingkaran setan “kerja keras demi validasi investor.” Alih-alih menciptakan dunia *open-world* yang memukau, Anda malah sibuk memoles *pitch deck* sampai mengkilap. Ironis, bukan? Kisah pilu ini bukan fiksi belaka, tapi realita pahit yang dihadapi banyak studio *game* indie.
Industri *game*, yang sering digambarkan sebagai lahan impian dan inovasi, ternyata menyimpan sisi gelap yang jarang terungkap. Di balik gemerlap *trailer* dan *hype* media sosial, ada perjuangan studio-studio kecil untuk bertahan hidup. Mereka berjuang bukan hanya melawan *bug* dan tenggat waktu, tapi juga melawan arus modal yang tak menentu.
Salah satu contohnya adalah Spilt Milk Studios, pengembang di balik *Trash Goblin*. Alih-alih menjadi kisah sukses instan, perjalanan mereka justru dipenuhi penolakan dan ketidakpastian finansial. Setelah ditolak oleh puluhan *publisher*, mereka terpaksa melakukan *layoff* dan mengandalkan Kickstarter untuk bertahan hidup. Sebuah ironi pedih, mengingat *Trash Goblin* sendiri adalah *game* tentang menemukan harta karun di tengah sampah.
Ketika Mimpi Bertemu Realita: Ujungnya Nombok
Pengalaman Spilt Milk Studios bukanlah anomali. Banyak studio *game* indie mengalami nasib serupa, terombang-ambing antara idealisme kreatif dan tuntutan bisnis. Robert Bäckström dari Aurora Punks, sebuah *publisher* asal Swedia, menggambarkan fenomena ini sebagai “struktur yang dibangun di atas satu produk.” Artinya, banyak studio yang terlalu bergantung pada keberhasilan satu *game* untuk mendanai operasional mereka.
Model bisnis semacam ini ibarat bermain *roulette*. Jika beruntung, Anda bisa meraih jackpot dan hidup mewah. Tapi jika tidak, Anda akan kehilangan segalanya dalam sekejap. Bäckström menyarankan agar studio *game* meniru pendekatan *publisher*, yaitu memiliki portofolio proyek yang beragam untuk menyeimbangkan risiko dan pendapatan.
Diversifikasi ini bisa berupa *work-for-hire*, konsultasi, atau bahkan menciptakan *mod* berbayar untuk *game* populer seperti *Fortnite* dan *Ark: Survival Ascended*. Tujuannya sederhana: menciptakan “war chest” yang cukup untuk menopang studio di masa-masa sulit. Intinya, jangan taruh semua telur dalam satu keranjang – kecuali kalau Anda punya ayam petarung yang jago kandang.
*Indie or Die*: Atau Malah Jadi Korban Vaporware?
Namun, diversifikasi bukanlah jaminan kesuksesan. Mengambil proyek *work-for-hire* bisa berarti mengorbankan visi kreatif dan kebebasan artistik. Selain itu, mengelola banyak proyek sekaligus membutuhkan manajemen yang ketat dan koordinasi tim yang solid. Jika tidak, studio bisa terjebak dalam kekacauan dan kelelahan.
Masalahnya, industri *game* seringkali mengagungkan “passion project” dan meremehkan pekerjaan yang dianggap “komersial.” Ada anggapan bahwa jika Anda benar-benar mencintai *game*, Anda harus rela berkorban segalanya – termasuk kesehatan mental dan stabilitas finansial. Padahal, logika ini sama absurdnya dengan menyuruh tukang bakso keliling untuk mendanai riset kanker.
Nicholas Lovell dari Spilt Milk Studios mengakui bahwa selama tahun 2023, mereka “berperilaku seperti studio indie klasik.” Artinya, mereka terlalu fokus mencari validasi dari *publisher* dan *funder*, alih-alih membangun hubungan langsung dengan konsumen. Mereka lupa bahwa uang yang paling aman adalah uang yang datang dari para *gamer* yang benar-benar menyukai *game* mereka.
Dari Validasi ke Verifikasi: Saatnya Berpikir Out of the Box
Spilt Milk Studios akhirnya menyadari bahwa “pekerjaan mereka bukanlah meyakinkan *publisher*, tapi meyakinkan konsumen.” Mereka mulai fokus pada pengembangan *Trash Goblin* dan mencari cara untuk menjangkau audiens yang tepat. Mereka juga mengambil proyek *work-for-hire* seperti *Wallace and Gromit DLC* untuk *Power Wash Simulator* untuk menambah pemasukan.
Pendekatan ini memungkinkan mereka untuk tumbuh secara bertahap dan membangun tim yang solid. Mereka tidak lagi terpaku pada model “satu *game* untuk semua,” tapi menciptakan ekosistem yang berkelanjutan. Mereka juga sadar bahwa ukuran bukanlah segalanya. Lebih baik menjadi studio kecil yang lincah daripada menjadi raksasa yang lamban dan rentan terhadap goncangan pasar.
Langkah Aurora Punks bahkan lebih radikal. Mereka tidak hanya mengambil proyek *work-for-hire*, tapi juga menciptakan *mod* berbayar untuk *game* lain. Mereka melihat *modding* sebagai cara untuk memberdayakan tim mereka, menciptakan sumber pendapatan tambahan, dan menghindari ketergantungan pada proyek besar. Sebuah strategi cerdas yang membuktikan bahwa inovasi bisa datang dari mana saja – termasuk dari dunia *mod* yang seringkali diremehkan.
Jangan Lupa Bahagia: Kunci Sukses ala Studio Indie
Tentu saja, diversifikasi dan inovasi hanyalah sebagian dari solusi. Yang terpenting adalah membangun budaya perusahaan yang positif dan suportif. Robert Bäckström menekankan pentingnya merayakan kesuksesan dan berbagi tantangan bersama. Ia juga mengakui bahwa beberapa pengembang di Aurora Punks telah berkontribusi besar melalui pekerjaan konsultasi mereka. Kontribusi ini harus dihargai dan diakui, bukan dianggap sebagai pengorbanan yang tak terlihat.
Spilt Milk Studios juga belajar bahwa “staying small-to-medium size, working with freelancers, and making sure we have multiple revenue streams which are largely driven by consumers” adalah kunci untuk bertahan hidup. Mereka tidak lagi bermimpi menjadi studio AAA dengan ratusan karyawan, tapi membangun tim inti yang solid dan fleksibel. Mereka juga terbuka terhadap peluang baru, asalkan tidak mengancam stabilitas finansial dan visi kreatif mereka.
Pada akhirnya, kisah Spilt Milk Studios dan Aurora Punks adalah kisah tentang ketahanan, adaptasi, dan keberanian untuk berpikir di luar kotak. Mereka membuktikan bahwa kesuksesan di industri *game* tidak selalu berarti menjadi kaya raya atau terkenal di seluruh dunia. Kadang, kesuksesan berarti mampu bertahan hidup, menjaga tim tetap utuh, dan terus menciptakan *game* yang dicintai oleh para *gamer*. Dan mungkin, itulah harta karun yang sebenarnya.