Oke, mari kita buat artikelnya sesuai dengan gaya Mojok yang unik dan menghibur!
Di era serba cepat ini, mencari kebahagiaan itu seperti mencari Wi-Fi gratis: harus jeli, gercep, dan sedikit maksa. Tapi, hei, siapa bilang kebahagiaan harus mahal? Ternyata, Gen Z dan milenial punya trik jitu untuk urusan ini: treat culture. Tapi, awas! Jangan sampai kebablasan dan malah jadi budak treat.
Ketika Kopi Lebih Penting dari Cinta: Lahirnya Treat Culture
Buat Vidhi Vij, pindah ke Jakarta itu seperti masuk ke game dengan level kesulitan tinggi. Sepinya hidup sendiri dan tuntutan pekerjaan yang bikin cenat-cenut, mendorongnya mencari pelipur lara. Dimulai dari secangkir kopi, lalu merembet ke baju baru, tas kece, sampai sepatu yang bikin dompet menjerit. Tujuh tahun berlalu, ritual ini tetap jadi andalannya. Katanya sih, buat self-reward dan pengingat bahwa dia pantas bahagia. Hmm, boleh juga idenya.
Vidhi adalah salah satu dari sekian banyak anak muda yang sudah kecanduan treat culture. Sebuah survei baru-baru ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh Gen Z membeli sendiri hadiah kecil setidaknya sekali seminggu. Pertanyaannya, apakah ini benar-benar efektif untuk kesehatan mental dan dompet?
Buku Lebih Mahal dari Pacar: Ketika Hobi Jadi Kebiasaan
Nachiket Shirude awalnya cuma iseng beli novel seharga 179 ribu rupiah. Siapa sangka, keisengan ini malah jadi candu. Dalam dua tahun, dia sudah menghabiskan 18 juta rupiah untuk buku! Katanya, sih, buat self-care dan motivasi. Tapi, kalau dipikir-pikir, uang segitu bisa buat DP motor, lho.
Treat culture memang bisa memberikan kebahagiaan instan. Tapi, kalau tidak dikelola dengan baik, bisa jadi bumerang yang bikin bokek. Para ahli keuangan menyarankan untuk membuat anggaran khusus untuk pengeluaran semacam ini. Jangan sampai gara-gara treat, masa depan jadi RIP.
Ngopi Cantik Bikin Kantong Nangis: Bahaya Tersembunyi di Balik Treat Culture
Sakchi Jain, seorang ahli keuangan, mengingatkan bahwa kebiasaan ngopi di coffee shop mewah atau pesan makanan setiap akhir pekan, bisa menguras dompet tanpa terasa. “Mungkin terlihat sepele, tapi kalau diakumulasi setahun, bisa mencapai puluhan juta rupiah. Boleh saja menikmati uang, tapi jangan sampai kebablasan. Kebiasaan ini bisa menunda tujuan keuangan yang lebih besar,” jelasnya.
Intinya, jangan sampai treat culture membuat kita jadi generasi sandwich yang terjebak di antara kebutuhan dan keinginan. Ingat, masa depan itu penting, Bro!
Red Flag! Tanda-Tanda Kamu Sudah Kecanduan Treat Culture
Berikut ini beberapa tanda bahwa kamu sudah harus mengerem kebiasaan treat culture:
- Tagihan kartu kredit didominasi oleh pesanan makanan, pembelian impulsif, dan langganan yang terlupakan.
- Sering menunda investasi atau cicilan demi membiayai hangout akhir pekan.
- Menggunakan fitur Buy Now, Pay Later untuk barang-barang yang tidak penting.
- Merasa bersalah setelah menghabiskan uang untuk hal-hal yang sebenarnya tidak dibutuhkan.
- Tabungan stagnan meskipun penghasilan stabil.
Kalau kamu mengalami tanda-tanda di atas, berarti sudah saatnya untuk introspeksi diri dan membuat perubahan. Jangan sampai dompetmu jadi korban keganasan treat culture.
Atur Strategi Keuangan: Biar Treat Nggak Bikin Sengsara
Sakchi Jain menyarankan untuk mengalokasikan 20% dari penghasilan untuk pengeluaran bebas, termasuk treat, makan di luar, atau belanja. Sisihkan 50% untuk kebutuhan pokok dan 30% untuk tabungan. Persentase ini bisa disesuaikan dengan gaya hidup dan kota tempat tinggal. Dengan begini, kamu bisa menikmati hidup tanpa mengorbankan kesehatan finansial di masa depan.
Intinya, tetaplah bijak dalam mengelola keuangan. Jangan sampai treat culture membuatmu jadi budak konsumsi yang hanya mengejar kebahagiaan semu.
Treat Yo Self: Ketika Pop Culture Ikut Campur
Konsep treat culture semakin populer sejak tahun 2011, berkat serial Parks and Recreation yang punya episode berjudul “Treat Yo Self“. Dalam episode itu, para karakter menghabiskan satu hari penuh untuk memanjakan diri. Sejak saat itu, Gen Z membangun gerakan online yang menganggap treat sebagai bentuk self-care di tengah ketidakpastian hidup.
Di TikTok, mereka memamerkan hasil “little treat” mereka, mulai dari setelah gagal ujian, selesai mengerjakan tugas, atau sekadar untuk pamer kekayaan. Menurut The New York Times, tagar “sweet little treat meme” sudah menginspirasi lebih dari 23 juta video.
Kata Ahli: Treat Culture Itu Normal, Asal…
Jason Dorsey, seorang peneliti generasi, mengatakan bahwa treat culture sudah menjadi pengalaman yang umum dan dirayakan. Dengan biaya hidup yang semakin tinggi, pasar kerja yang tidak stabil, dan impian memiliki rumah yang semakin sulit dicapai, membeli barang-barang kecil memberikan rasa kendali dan kesenangan sementara bagi Gen Z.
Namun, Dorsey juga mengingatkan bahwa treat culture bisa menjadi masalah jika tidak dikelola dengan baik. Jangan sampai kita terjebak dalam siklus konsumsi yang tidak ada habisnya.
Apa Kata Gen Z dan Milenial Soal Treat Culture?
“Buatku, treat culture itu seperti jeda sejenak dalam kesibukan hidup,” kata Nachiket, yang menghabiskan sekitar satu juta rupiah sebulan untuk buku-buku yang membuatnya bahagia.
“Ini tentang mencintai diri sendiri dan menemukan cara kecil untuk melindungi kesehatan emosional,” tambah Vidhi Vij.
“Buatku, ini tentang menghargai diri sendiri atas kerja keras dan meningkatkan suasana hati agar tetap bersemangat,” kata Bhumika Rawal, seorang Gen Z berusia 22 tahun.
Intinya, treat culture adalah cara untuk menyeimbangkan stres dengan kesenangan sederhana. Tapi, ingat, jangan sampai kebablasan!
Media Sosial: Biang Kerok atau Sumber Inspirasi?
Bagi sebagian orang, media sosial memengaruhi cara mereka menikmati treat culture. Bhumika mengaku bahwa melihat postingan-postingan di Instagram selalu membuatnya tergoda untuk membeli sesuatu. Sementara itu, Nachiket merasa bahwa postingan buku atau perjalanan memang memengaruhinya, tetapi ide treat lebih berasal dari kebiasaan daripada tren.
Jadi, bagaimana denganmu? Apakah kamu termasuk orang yang gampang terpengaruh media sosial dalam urusan treat culture?
Pada akhirnya, treat culture itu seperti pedang bermata dua. Bisa memberikan kebahagiaan, tapi juga bisa menghancurkan keuangan. Kuncinya adalah bijak dan tahu batasan. Jangan sampai kita jadi budak treat yang hanya mengejar kesenangan sesaat. Ingat, masa depan itu lebih penting daripada sekadar secangkir kopi atau sepasang sepatu baru.