Popular Now

Pandemi Agreement WHO: Apa Artinya Bagi Generasi Muda Indonesia?

Hidden Cameras: Dari Indie Boy Jadi Bad Boy Lewat Musik Elektro Berlin yang Meditatif

Budaya Asli Amerika Dirayakan di Discovery Park 2025

Treat Culture: Manisnya Peluang Ritel Bisa Jadi Jebakan

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang seringkali terasa seperti level sulit di sebuah _game_ tanpa _cheat code_, banyak yang mencari cara untuk sekadar _survive_ dan tidak _rage quit_. Dari tuntutan pekerjaan yang kadang seakan tak ada habisnya hingga tagihan yang datang tepat waktu layaknya _jumpscare_ di film horor, rasanya wajar saja jika banyak orang, terutama generasi muda, membutuhkan _booster_ semangat instan. Namun, siapa sangka jika “obat”nya justru ditemukan dalam secangkir kopi mahal atau sepotong kue cantik? Fenomena inilah yang kini ramai dibicarakan, bahkan disebut-sebut sebagai penerus dari teori ekonomi lama yang mungkin pernah akrab di telinga.

Jauh sebelum kopi kekinian atau kudapan viral _booming_, sebuah konsep yang disebut “_lipstick effect_” telah ada. Teori ekonomi ini, pertama kali dicetuskan oleh Leonard Lauder dari Estée Lauder pada krisis ekonomi tahun 2001, menyatakan bahwa saat situasi ekonomi memburuk, orang cenderung beralih ke kemewahan yang terjangkau. Kosmetik, khususnya lipstik, menjadi pilihan favorit untuk memanjakan diri. Pembelian ini didorong oleh keterjangkauannya dan keinginan konsumen untuk sedikit melarikan diri dari realitas pahit. Konsepnya sederhana: jika tidak bisa membeli mobil baru, setidaknya bisa beli lipstik baru untuk merasa lebih baik.

## Ketika Escapism Jadi Seni

Seiring berjalannya waktu dan tantangan ekonomi yang terus berevolusi, “efek lipstik” ini bermetamorfosis menjadi sesuatu yang lebih personal dan digital. Lahirlah dua tren kontemporer yang kini menjadi pendorong utama peningkatan pengeluaran untuk indulgensi kecil: “little treat culture” dan “treatonomics.” Kedua tren ini, meski berbeda nuansa, sama-sama menawarkan pelarian instan yang terasa begitu relevan dengan kondisi zaman ini. Bagi sebagian besar orang, terutama Gen Z dan milenial, _escapism_ bukan lagi sekadar pelarian, tetapi telah menjadi semacam seni.

“Little treat culture” adalah budaya di mana konsumen memanjakan diri dengan indulgensi kecil, seperti secangkir _latte_ seharga Rp70.000, camilan unik, atau produk kecantikan mini. Ini seringkali dijadikan “hadiah” setelah menyelesaikan tugas, atau sekadar mekanisme untuk mengatasi stres. Momen-momen pembelian “hadiah kecil” ini kemudian dirayakan di media sosial, menjadi semacam validasi atas perjuangan harian. Tagar TikTok “_sweet little treat meme_” saja telah digunakan dalam lebih dari 23 juta video, membuktikan betapa masifnya fenomena ini.

Fenomena “little treat culture” ini rupanya bukan sekadar perilaku belanja biasa. Julia Peterson, direktur pemasaran konsumen di agensi budaya muda Archrival, menyebutnya sebagai sebuah filosofi. Ia menjelaskan bahwa generasi muda melihat “memanjakan diri” ini bukan sebagai sebuah kemewahan, melainkan sebuah kebutuhan esensial. Mereka membutuhkannya untuk tetap berpijak pada kenyataan dan menemukan kebahagiaan di tengah kerasnya tantangan budaya dan ekonomi yang terus bergejolak. Dalam skenario ini, secangkir kopi lebih dari sekadar minuman; ia adalah jangkar.

## Strategi Hadiah atau Terapi Belanja?

Di sisi lain, ada “treatonomics,” sebuah strategi yang lebih terencana dalam hal _self-reward_. Menurut CNBC.com, dengan _treatonomics_, seseorang akan mengurangi pengeluaran sehari-hari. Misalnya, memilih merek supermarket yang lebih murah atau berhenti membeli kopi _takeaway_ untuk berhemat. Tujuannya adalah menabung untuk “indulgensi dan pengalaman yang jauh lebih besar,” seperti menghadiri konser musik idola atau liburan singkat yang sudah lama diimpikan. Ini seperti mode _saving_ super ketat demi _item_ langka di akhir _game_.

Meredith Smith, direktur senior di firma analisis ritel Kantar, menyampaikan kepada CNBC bahwa konsumen mencari cara untuk menghargai diri sendiri dengan “langkah-langkah kecil” atau _inch-stones_. Hal ini terjadi karena pencapaian “tonggak-tonggak tradisional” dalam hidup seringkali lebih sulit diraih saat ini. _Inch-stones_ ini menjadi pengganti sementara, sebuah _checkpoint_ pribadi yang merayakan keberadaan di tengah ketidakpastian.

Sebagai contoh, bagi individu yang belum mampu membeli rumah sebelum usia 40 tahun, budaya “memanjakan diri” ini menjadi sebuah _respite_ yang disambut baik. Ini juga menjadi cara untuk mengekspresikan diri dalam lingkungan mereka ketika sebuah “tonggak” besar terlewatkan begitu saja. Lingkaran pertemanan yang biasanya sibuk dengan pesta pernikahan atau _baby shower_ kini diganti dengan pesta perpisahan, perayaan ulang tahun anjing peliharaan, atau rutinitas perawatan diri yang _high-effort_. Ini adalah bukti adaptasi terhadap definisi kebahagiaan.

Kedua tren, “little treat culture” dan “treatonomics,” sering dikelompokkan dalam payung besar “treat culture” mengingat kemiripan esensialnya. Bagi para peritel, ini adalah peluang emas untuk menawarkan produk atau pendekatan pemasaran yang merayakan momen-momen _escapism_ ini. Strategi pemasaran yang tepat dapat mengetuk pintu hati konsumen yang haus akan validasi dan _self-reward_ di tengah tekanan hidup. Potensi pasarnya sangat besar, seolah _unlocking a new level_ dalam perilaku konsumen.

## Bahaya di Balik Manisnya Hadiah Kecil

Namun, seperti kebanyakan hal dalam hidup, tren _self-treating_ ini juga memiliki sisi gelapnya. Tidak selalu semua yang berkilau itu emas. Ada beberapa potensi bahaya yang mengintai di balik manisnya hadiah-hadiah kecil atau pengalaman mewah yang dicari-cari. Penting untuk melihat gambaran yang lebih luas, agar momen menyenangkan ini tidak berubah menjadi jebakan finansial atau bahkan psikologis yang sulit dihindari.

Sebuah artikel di _New York Times_ pernah menyoroti bahwa “treat culture” ini merepresentasikan sebuah penyimpangan dari perilaku menabung konvensional. Kondisi ini berpotensi menyebabkan pengeluaran berlebihan. Alih-alih mengalokasikan dana untuk masa depan atau kebutuhan mendesak, seseorang bisa jadi terlalu fokus pada kepuasan instan, menguras tabungan atau bahkan terjerat utang demi memenuhi hasrat “memanjakan diri.” Ini seperti _power-up_ yang justru menguras _health bar_ di kemudian hari.

Lee Chambers, seorang psikolog dan spesialis _wellbeing_ asal Inggris, kepada _Huffington Post_ menjelaskan bahwa meskipun _treat_ kecil dapat memperkuat kebiasaan sehat, praktik ini bisa menyebabkan “terlalu banyak fokus pada gratifikasi jangka pendek.” Lebih lanjut, hal ini berpotensi menimbulkan ketergantungan pada _reward_ eksternal. Jika kebahagiaan selalu bergantung pada pembelian barang atau pengalaman, apa jadinya ketika kemampuan untuk membeli itu terhambat?

Chambers juga menambahkan bahwa tren ini berpotensi menjadi “normalisasi.” Ketika _self-treating_ menjadi standar operasional, _reward_ itu sendiri kehilangan daya tariknya, dan manfaatnya mulai berkurang. Sesuatu yang seharusnya istimewa, jika dilakukan terlalu sering, akan menjadi biasa saja, layaknya lagu favorit yang diputar berulang-ulang hingga kehilangan pesonanya. Ini adalah risiko hilangnya “efek kejut” dari setiap _treat_ yang diberikan.

Pada akhirnya, “little treat culture” dan “treatonomics” mencerminkan bagaimana masyarakat modern, terutama generasi muda, beradaptasi dengan tantangan ekonomi dan tekanan hidup. Mereka mencari kebahagiaan dalam bentuk-bentuk baru, baik itu secangkir kopi mahal yang instan atau pengalaman besar yang direncanakan matang. Meskipun fenomena ini menawarkan pelarian yang sangat dibutuhkan, penting untuk memahami batasan dan potensi risikonya, agar kenikmatan sesaat tidak berujung pada penyesalan jangka panjang. Mengelola _self-reward_ ini dengan bijak adalah kunci untuk tetap bahagia tanpa harus mengorbankan stabilitas diri.

Previous Post

Wild Blue: Trailer Perdana Ungkap Dunia Baru di Gamescom 2025

Next Post

Bangun Bersama Alam: Raih Manfaat Hidup Berkelanjutan

Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *