Dark Mode Light Mode
Lainey Wilson Ungkap Alasan Tak Bisa Dengar Hannah Montana Lagi
Tuntutan Pengemudi Online dan Realitas Ekonomi Digital Indonesia: Konsekuensi bagi Pembangunan
Sony Permudah Akses PC untuk Game PlayStation di Banyak Negara

Tuntutan Pengemudi Online dan Realitas Ekonomi Digital Indonesia: Konsekuensi bagi Pembangunan

Siapa yang menyangka, pekerjaan fleksibel yang dulu diagung-agungkan sebagai solusi finansial, kini justru menjadi sumber sakit kepala bagi para pengemudi online? Dulu, kita terpukau dengan cerita pengemudi Gojek bisa menghasilkan belasan juta rupiah per bulan. Sekarang? Mari kita bahas lebih dalam.

Era Keemasan Ojek Online: Dulu dan Sekarang

Dulu, daya tarik menjadi pengemudi online di aplikasi seperti Gojek atau Grab adalah kebebasan. Jam kerja fleksibel, tanpa aturan mengikat, dan status sebagai business partner. Ingat kan, bagaimana dulu kita bisa clock in dan clock out sesuka hati? Fleksibilitas inilah yang menarik banyak orang untuk mencoba peruntungan.

Model kemitraan ini memang menjanjikan. Penghasilan tidak tetap seperti gaji bulanan, melainkan berdasarkan jumlah order dan performa. Di tahun 2015, berita tentang pengemudi Gojek yang mampu meraup Rp15 juta per bulan benar-benar menggemparkan. Masuknya Grab ke pasar Indonesia pun tidak terlalu menggoyahkan dominasi keduanya. Bahkan, kedua platform ini semakin populer, baik di kalangan pengemudi maupun konsumen. Semuanya tampak indah, bukan?

Namun, satu dekade kemudian, realitanya tidak seindah dulu. Konsep fleksibilitas dan kemitraan yang dulu jadi andalan, kini dipertanyakan. Mengapa? Karena platform dianggap gagal memenuhi aspirasi dan kesejahteraan pengemudi.

Kondisinya sudah jauh berbeda dari tahun 2015. Dulu, pengemudi bisa mengumpulkan lebih dari Rp3 juta per minggu. Sekarang, bahkan untuk mencapai Rp100 ribu sehari pun sulit, seperti yang diungkapkan oleh Sri Damiyah, seorang pengemudi Gojek sejak awal kejayaan aplikasi ini.

Survei oleh IDEAS pada tahun 2023 menunjukkan bahwa sebagian besar pengemudi hanya menghasilkan sekitar Rp200 ribu per hari. Jumlah ini harus menutupi biaya operasional seperti bensin dan makanan, serta komisi platform. Komisi platform memang berbeda-beda, tetapi survei menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden harus menyisihkan hingga 20% dari pendapatan harian mereka untuk membayar komisi aplikasi.

Sebenarnya, 20% masih sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan No. 1001 Tahun 2022 tentang regulasi komisi platform. Tapi, inilah realita pahit yang harus dihadapi para pengemudi. Persentase yang lebih tinggi dari 20% tentu akan semakin memangkas pendapatan mereka. Gojek dan Grab mengklaim tidak pernah melebihi persentase yang disepakati. Benarkah demikian?

Kemitraan yang Tidak Setara: Jeritan Pengemudi Online

Demonstrasi yang terjadi beberapa waktu lalu justru menceritakan kisah yang berbeda. Komisi seringkali dinaikkan secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan kepada pengemudi. Ironisnya, pengemudi diklasifikasikan dan diberi label "mitra," tetapi tidak diperlakukan sebagaimana mestinya.

Dalam dunia bisnis, mitra berarti kedudukan yang setara, bukan? Artinya, dalam setiap pengambilan keputusan, kedua belah pihak harus dilibatkan dalam diskusi. Sayangnya, perusahaan aplikasi seringkali beroperasi tanpa melibatkan pengemudi. Entah itu dalam menaikkan komisi aplikasi di atas 20% atau menangguhkan akun mereka tanpa memberi ruang untuk berdialog.

Tidak peduli bagaimana pun kita melihatnya, pengemudi selalu dirugikan. Salah satu tuntutan utama dalam demonstrasi adalah urgensi untuk diklasifikasikan sebagai karyawan tetap agar para pengemudi tunduk pada hak-hak pekerja dan perlindungan hukum yang jelas.

Para pengemudi tampaknya tidak lagi melihat nilai dalam model kemitraan "fleksibel," karena gagal menawarkan manfaat nyata bagi mereka. Perusahaan yang terus-menerus bersembunyi di balik kedok fleksibilitas untuk membenarkan perilaku buruk mereka seharusnya malu.

Tuntutan Hak dan Perlindungan: Lebih dari Sekadar Fleksibilitas

Masalah ini, yang sedang berkembang di Indonesia, seharusnya menjadi wake-up call bagi para pemangku kepentingan gig economy di seluruh dunia. Perjuangan para pengemudi online di Indonesia mencerminkan kekhawatiran yang berkembang tentang bagaimana platform digital membentuk tenaga kerja—menimbulkan pertanyaan mendesak tentang regulasi, hak-hak pekerja, dan keadilan ekonomi di arena ekonomi digital global yang baru.

Regulasi dan Keadilan Ekonomi: Saatnya Bertindak

Jika pengemudi diharapkan untuk memajukan ekonomi digital, maka sudah saatnya mereka menerima lebih dari sekadar janji kosong yang disamarkan sebagai fleksibilitas. Mereka berhak mendapatkan hak, perlindungan, dan tempat di meja perundingan. Ini bukan hanya tentang uang, tapi tentang martabat dan keadilan. Jika kita ingin ekonomi digital yang berkelanjutan, kita harus memastikan bahwa semua pihak diuntungkan, bukan hanya segelintir perusahaan teknologi raksasa.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Lainey Wilson Ungkap Alasan Tak Bisa Dengar Hannah Montana Lagi

Next Post

Sony Permudah Akses PC untuk Game PlayStation di Banyak Negara