Popular Now

Pandemi Agreement WHO: Apa Artinya Bagi Generasi Muda Indonesia?

Hidden Cameras: Dari Indie Boy Jadi Bad Boy Lewat Musik Elektro Berlin yang Meditatif

CIFTIS: Siswa Indonesia Promosikan Budaya, Banggakan Negeri

Tupac: More Than a Rapper, a Revolutionary Whose Radical Legacy Still Matters

Tupac Shakur. Nama yang satu ini lebih terkenal daripada mie instan di tanggal tua. Hampir tiga dekade setelah kepergiannya, wajahnya masih mejeng di mural, poster, sampai kaos kaki. Tapi, pernahkah kita bertanya, selain seorang rapper, sebenarnya siapa sih Tupac ini? Apakah cuma seorang berandal bertato “Thug Life” atau lebih dari itu?

Tupac: Lebih dari Sekadar Ikon

Banyak yang mengenang Tupac sebagai seorang seniman, tapi melupakan sisi revolusionernya. Padahal, jauh sebelum era streaming dan viralitas, Tupac sudah lantang menyuarakan ketidakadilan. Ia adalah anak dari aktivis Black Panther yang tumbuh di tengah diskriminasi dan kemiskinan. Musiknya bukan sekadar hiburan, tapi juga senjata perlawanan.

Tupac Amaru Shakur lahir dari keluarga revolusioner. Ibunya, Afeni Shakur, adalah anggota Black Panther Party yang militan. Bahkan, saat mengandung Tupac, Afeni menghadapi tuntutan hukum atas tuduhan konspirasi pengeboman. Bak pengacara kondang, Afeni membela diri dan berhasil memenangkan kasus tersebut. Sebulan kemudian, lahirlah Tupac.

Awalnya, ia diberi nama Lesane Parish Crook. Tapi, beberapa hari kemudian, Afeni menggantinya dengan Tupac Amaru II, seorang pemimpin pemberontakan dari Peru. Afeni ingin anaknya tahu bahwa ia adalah bagian dari budaya dunia, bukan cuma lingkungan sekitar. Sebuah nama yang mengandung semangat perlawanan.

Dari Keluarga Revolusioner ke Musik Pemberontakan

Tumbuh dalam keluarga aktivis, Tupac terbiasa dengan diskusi tentang pembebasan, solidaritas, dan perjuangan sosialis. Bukan sekadar teori, tapi bagian dari gerakan nyata. Ia tumbuh di tengah tradisi Marxisme kulit hitam yang militan, di bawah tekanan polisi, pengawasan FBI, dan perjuangan untuk bertahan hidup.

Warisan itu juga mengalir dalam darah keluarganya. Ibu baptisnya, Assata Shakur, adalah mantan anggota Black Panther dan Tentara Pembebasan Hitam. Ia dituduh membunuh seorang polisi dan melarikan diri ke Kuba. Pada tahun 2013, Assata menjadi wanita pertama yang masuk daftar teroris paling dicari FBI. Kisah hidupnya bisa dibaca di autobiografinya.

Ayah tiri Tupac, Mutulu Shakur, adalah seorang penyembuh revolusioner dan ahli akupunktur. Ia membantu merencanakan pelarian Assata dari penjara, sebelum akhirnya dipenjara sendiri. Mutulu menghabiskan lebih dari tiga puluh enam tahun di penjara dan baru dibebaskan pada Desember 2022 karena kondisi kesehatannya yang memburuk. Delapan bulan kemudian, ia meninggal dunia.

Dalam lingkungan seperti ini, Tupac tumbuh dengan kesadaran kelas dan pendidikan politik yang kuat. Ia terinspirasi oleh Malcolm X dan bergabung dengan Liga Komunis Muda saat remaja. Pengalaman ini membentuk musiknya. Dalam “Words of Wisdom”, dari album debutnya 2Pacalypse Now, ia nge-rap:

No Malcolm X in my history text, why’s that?

’Cause he tried to educate and liberate all Blacks

Why is Martin Luther King in my book each week?

He told Blacks, if they get smacked, turn the other cheek

“Brenda’s Got a Baby”: Potret Buram Kapitalisme

Jika Tupac mewarisi pandangan revolusioner dari keluarganya, maka musik adalah senjatanya. Lagu seperti “Brenda’s Got a Baby” adalah komentar pedas tentang bagaimana kapitalisme dan patriarki menelantarkan perempuan kulit hitam kelas pekerja. Kisah seorang gadis dua belas tahun yang hamil karena sepupunya, terpaksa melahirkan, dan akhirnya terbunuh adalah cerminan dari rasisme struktural.

Dalam lagu ini, Tupac blak-blakan tentang kemiskinan Brenda, kurangnya akses ke sumber daya, dan ketidakpedulian masyarakat yang mengabaikan mereka yang paling rentan. Ia menyalahkan masyarakat yang membiarkan Brenda mati: “Prostitute, found slain, and Brenda’s her name. She’s got a baby.”

Serupa dengan itu, “Keep Ya Head Up”, dari album keduanya, Strictly 4 My N.I.G.G.A.Z., menegaskan martabat perempuan kulit hitam di tengah misogini dan penelantaran. Lagu ini menjadi anthem bagi generasi.

Tupac nggak cuma jago ngerap, tapi juga punya empati yang tinggi. Ia jadi pelopor yang menginspirasi banyak rapper untuk menulis lagu yang jujur dan peduli sosial. “Gue rasa omongan gue nggak ada yang berani ngomong,” katanya dalam sebuah wawancara tahun 1995. “Siapa yang nulis tentang perempuan kulit hitam sebelum ‘Keep Ya Head Up’? Sekarang semua orang bikin lagu tentang perempuan kulit hitam.”

Kritik Pedas untuk Para Pesohor

Tupac nggak ragu mengkritik ketimpangan kelas dan keserakahan para pesohor. “Nggak masuk akal selebriti punya pesawat terbang sementara banyak orang nggak punya rumah,” ujarnya. Ibaratnya, kenapa ada orang punya rumah 52 kamar sementara tetangga sebelah nggak punya kamar sama sekali? Nggak fair, kan?

Di pertengahan 1990-an, meski hidupnya penuh dengan gemerlap industri musik dan kekerasan jalanan, analisis Tupac semakin tajam. Dalam “White Man’z World” dari album The Don Killuminati: The 7 Day Theory (direkam sebulan sebelum kematiannya), ia menyapa para tahanan kulit hitam dan semua orang yang berjuang di bawah ketidakadilan sistemik.

“Changes”: Anthem untuk Perubahan

Tupac berulang kali mengangkat tema ketimpangan kelas, redistribusi kekayaan, dan kebangkrutan moral kapitalisme. Ia menyebut polisi sebagai tentara pendudukan di lingkungan kulit hitam, penjara sebagai perkebunan modern, dan mengutuk horor imperialisme AS di negara-negara Selatan. Meski populer, ia tetap marah, nggak sabar, dan yakin bahwa dunia yang lebih baik mungkin terjadi.

Mungkin distilasi terjelas dari politik kelasnya adalah “Changes”, salah satu lagunya yang paling dikenal. Tupac ngerap tentang brutalitas polisi, perang melawan narkoba, rasisme sistemik, dan ketimpangan kekayaan:

Instead of war on poverty

They got a war on drugs so the police can bother me

“Changes” adalah seruan untuk solidaritas lintas ras dan kelas, serta ajakan untuk mengalihkan energi masyarakat dari perang dan penindasan menuju keadilan dan kesetaraan. Sebuah sosialisme yang dibalut dengan hip-hop, dan anthem yang pas untuk mengenang semangat revolusioner Tupac.

Yang bikin dia radikal adalah kemampuannya menjangkau mereka yang belum pernah baca Karl Marx atau Frantz Fanon. Lagunya nggak cuma mencatat ketidakadilan, tapi juga membangkitkan kemarahan, kesadaran, dan harapan bagi jutaan orang. Bagi banyak orang, Tupac adalah perkenalan pertama mereka dengan politik perlawanan.

Dijerat Industri Musik dan Konflik Timur-Barat

Seiring popularitasnya, Tupac nggak cuma mewarisi warisan revolusioner keluarganya, tapi juga kerangka represif yang mengintai mereka. Baginya, ini terwujud dalam “satuan tugas hip-hop”, dossier polisi, dan pengawasan lapangan yang konstan. Di saat yang sama, Tupac juga terperangkap dalam jebakan lain: pertikaian media antara rap Pantai Timur dan Pantai Barat.

Perseteruan industri yang sebenarnya sepele dengan The Notorious B.I.G. dan Bad Boy Records berubah menjadi pengalihan perhatian yang mematikan. Tupac nggak lagi dilihat sebagai tokoh politik, tapi sebagai karikatur gangster. Media terobsesi dengan masalah hukumnya, konfliknya dengan The Notorious B.I.G., dan kemerosotannya. Yang hilang dalam pemberitaan adalah pesan radikalnya tentang kemiskinan, rasisme, dan negara penjara.

Seperti halnya para Panther sebelumnya, cara termudah untuk melucuti Tupac adalah dengan mengkriminalkannya, mencabut legitimasi politiknya dengan menjadikannya sosok yang sembrono, kasar, dan merusak diri sendiri. Industri musik korporat ikut bermain, memperkuat sensasionalisme sambil meraup keuntungan dari citranya. Saat ia ditembak di Las Vegas pada tahun 1996, kisah Tupac sang revolusioner hampir sepenuhnya tertutupi oleh tontonan Tupac sang pelanggar hukum. Bagi banyak orang, inilah yang masih terjadi hingga saat ini.

Api Revolusi yang Tak Pernah Padam

Industri musik mungkin mencoba mengubahnya jadi poster atau hologram, tapi api yang dinyalakan Tupac masih membara dalam diri para seniman yang terinspirasi. Ia bukan cuma ikon, tapi juga kawan seperjuangan. Seseorang yang berdiri di persimpangan seni dan perjuangan, menunjukkan bagaimana budaya bisa memberi suara kepada mereka yang tak bersuara sekaligus mengkritik para penguasa.

Kata-katanya masih relevan hingga kini. “They got money for war but can’t feed the poor,” nge-rap dia dalam “Keep Ya Head Up.” Lirik yang terasa makin nampol saat Amerika Serikat jor-joran ngasih bantuan militer ke Israel buat ngebantai warga Gaza, sementara jutaan rakyatnya sendiri hidup di bawah garis kemiskinan.

Tentu saja, Tupac nggak sempurna. Hidupnya penuh kontradiksi. Hubungannya dengan Suge Knight dan Death Row Records menyeretnya ke dalam konflik Timur-Barat yang toksik. Tapi, kalau kita mau menghormati warisannya, kita harus merangkul semangat revolusioner yang mendefinisikan hidup dan musiknya: tuntutan tanpa kompromi untuk pembebasan. Sebuah tuntutan yang nggak lekang dimakan waktu.

Previous Post

Ebola: Vaksinasi Dimulai di Kongo, WHO Kirim Bantuan untuk Atasi Wabah

Next Post

Utawarerumono Mundur! Gamer Nangis, Rilis 2026?

Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *