Dark Mode Light Mode

Ulasan Album Caroline ‘Caroline 2’: Apakah Ini Lebih dari Sekadar Pengulangan?

Siap-siap! Ada band eksperimental keren yang lagi happening banget nih, namanya caroline. Musik mereka itu kayak tab browser yang nyala semua tapi hasilnya malah keren abis. Bingung? Sama! Makanya, simak terus artikel ini.

Caroline: Sensasi Musik Eksperimental yang Bikin Nagih

Mungkin kamu pernah denger istilah post-rock, hyperpop, atau bahkan avant-garde classical. Nah, caroline ini kayak nyampur semua genre itu jadi satu, tapi tetep kedengeran fresh dan unik. Mereka bukan cuma bikin musik, tapi juga menciptakan experience yang sulit dilupain. Mereka ini bukan band biasa, mereka itu next level.

Mengapa Musik Caroline Begitu Menarik?

Band asal London ini punya delapan personil, tapi yang bikin kagum adalah mereka justru bisa menghasilkan musik yang minimalis. It's all about ruang kosong dan bagaimana mereka mengisinya dengan magic. Inspirasi mereka beragam, dari Talk Talk yang stark sampai Alex G yang uncanny. Bayangin aja, Animal Collective ketemu Arthur Russell, jadinya ya kayak caroline ini.

Musik mereka itu kayak arsitektur yang belum selesai. Kadang ada dinding bata yang keliatan, kadang malah kayak gak ada bangunan sama sekali. Tapi justru itu yang bikin penasaran. Musik caroline bisa terasa asing, tapi juga bisa membangkitkan emosi yang dalam. Kayak terapi eksperimental gitu deh.

"Total Euphoria": Titik Awal Petualangan Musik Caroline

Lagu "Total Euphoria" itu bener-bener mewakili album caroline 2. Bayangin aja suara gitar yang kayak mesin rusak, drum yang menggelegar, dan suara vokal Jasper Llewellyn yang plaintive. Semuanya campur aduk, tapi lama-lama jadi harmoni yang indah. Ada brass yang megah, ada suara Magdalena McLean yang menimpali. Kayak simfoni yang gak simetris, tapi pas banget. It's pure chaos, but it works.

Di tengah lagu, tiba-tiba ada ledakan kayak bom. Tapi tenang, musiknya balik lagi, kali ini dengan orkestra gesek yang elegan. Lalu, banyak suara vokal yang teriak, liriknya juga berubah-ubah dari abstrak jadi yakin: "You’re taking it in your stride/ I know that you don’t mind!". "Total Euphoria" ini bukan cuma lagu, tapi juga pengalaman sensory overload yang bikin merinding. Lagu ini bisa jadi polarizing, tapi buat yang udah kena, dijamin bakal ketagihan.

caroline 2: Lebih dari Sekadar Album

caroline 2 adalah bukti bahwa caroline makin matang. Album ini lebih baik dari debut mereka di tahun 2022. Mereka berhasil menggabungkan abstraksi yang menggugah dengan emosi yang jujur. Mereka gak takut bereksperimen, dan hasilnya selalu bikin kagum. Album ini membuktikan bahwa caroline adalah salah satu band paling menarik di dunia saat ini.

Di album ini, ada lagu "Two riders down" yang berdurasi enam setengah menit. Isinya suspended chaos, kayak anthem emo yang pecah di tengah badai. Ada juga "When I get home" yang sparse dan berbisik. Melodinya melankolis, ritmenya kayak detak jantung, lalu tiba-tiba ada free-jazz hi-hat. Liriknya? Gak usah dipikirin terlalu dalam. Biarin imajinasi kamu yang main.

Menurut band-nya, mereka sering nyomot frasa dari alam bawah sadar. Mereka sengaja bikin liriknya ambigu, biar pendengar bisa interpretasi sendiri. Sama kayak instrumentasinya, lirik caroline adalah fragmen-fragmen yang membiarkan imajinasi kamu mengisi kekosongan. Ketidakjelasan makna justru menambah intensitas perasaan.

"Tell Me I Never Knew That" Feat. Caroline Polachek: Kolaborasi Impian

Pengecualian untuk aturan ambiguitas adalah lagu "Tell me I never knew that" yang menampilkan Caroline Polachek. Lagu ini stunning banget, perpaduan yang ideal antara pendekatan caroline dan avant-pop Polachek. Lirik yang dinyanyikan Polachek lebih direct: "I don’t even know if I’m alive/ But I don’t wanna be somebody else/ Maybe I don’t wanna be anyone." Setelah itu, musiknya makin indah, lalu tiba-tiba ambruk dan kita ditinggalkan dengan teka-teki tentang keabadian: "It always has been," "It always will be," "This always happens."

caroline 2 cuma punya delapan lagu, dan durasinya lebih pendek dari lagu-lagu di album caroline. Tapi jangan khawatir, mereka masih tetep suka mengulang-ulang lirik untuk mengubah resonansinya, dan membiarkan lagu-lagu mereka sedikit memanjang. Trio komposer Llewellyn, Mike O’Malley, dan Casper Hughes makin jago menemukan inti dari musik mereka. Lagu-lagu ini membawa pendengar ke dalam keadaan rentan, dan ketika durasinya panjang, itu karena caroline udah shifting gears beberapa kali, menumpuk bagian-bagian yang terkait menjadi epik kecil multi-segmen.

Kekuatan Super yang Tersembunyi

Mereka ini kayak band yang lagi belajar bahasa musik yang unik, mengasah keterampilan tapi juga mendapatkan kendali atas kekuatan super laten. Dua album berjalan, gue masih belum sepenuhnya paham apa yang mereka lakukan atau bagaimana mereka melakukannya, tapi yang jelas gue kagum. Musik caroline itu kayak puzzle yang rumit, tapi begitu udah jadi, hasilnya bikin nagih.

Album caroline 2 ini dirilis tanggal 30 Mei via Rough Trade. Jadi, tunggu apa lagi? Buruan dengerin dan siap-siap buat perjalanan musik yang gak bakal kamu lupain. Siapa tahu, kamu juga jadi kecanduan kayak gue!

Caranya Mendengarkan Musik Caroline?

Streaming di Spotify, Apple Music, YouTube Music, atau beli albumnya di Rough Trade Records. Jangan lupa dengerin pake headphone biar lebih immersive. Dijamin deh, dengerin musik caroline itu kayak nonton film indie yang mind-blowing.

Kenapa Kamu Harus Dengerin caroline?

Karena musik mereka itu gak kayak yang lain. Mereka berani bereksperimen, mereka gak takut untuk aneh, dan mereka selalu bikin kita mikir. Musik caroline itu tantangan, tapi juga hadiah. Buat kamu yang bosen sama musik mainstream, caroline adalah angin segar.

Intinya, caroline itu lebih dari sekadar band. Mereka itu movement, mereka itu experience, mereka itu future of music. Jadi, jangan sampe ketinggalan!

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Game Flash Kultus Bangkit Kembali Berkat Penyelamatan Kode Sumber dari Laptop Anak di Indonesia

Next Post

Kekacauan Cuti Panjang: Daniel Moss di Indonesia