Siap-siap, kita mau bahas album yang mungkin bikin kamu bertanya-tanya: ini spoof atau beneran bagus? Album yang akan kita kulik kali ini adalah "The Completion Backward Principle" dari The Tubes. Jangan kaget kalau ternyata album ini punya sejarah yang lebih menarik dari namanya. Mari kita bedah satu per satu!
The Tubes: Dari Panggung Teater ke Radio Pop?
The Tubes, bagi sebagian orang, mungkin cuma dikenal lewat lagu "She's a Beauty". Padahal, mereka punya perjalanan panjang dan berliku di dunia musik. Awalnya, The Tubes dikenal sebagai band yang theatrical banget, dengan aksi panggung yang liar dan nyeleneh. Mereka seringkali mengejek budaya pop dan komersialisme, tapi ironisnya, mereka sendiri kemudian mencoba peruntungan di jalur yang lebih mainstream.
Album "The Completion Backward Principle" ini adalah salah satu buktinya. Mereka menggandeng David Foster, produser yang dikenal dengan sentuhan soft rock-nya (Earth, Wind & Fire, anyone?), untuk menggarap album ini. Hasilnya? Album yang lebih polished dan radio-friendly, tapi tetap dengan sentuhan khas The Tubes yang sedikit "miring".
Fee Waybill, sang vokalis, menganggap Foster sebagai "salah satu produser terhebat yang pernah ada" dan merasa Foster menyelamatkan karir The Tubes. Namun, gitaris Bill Spooner justru menjulukinya ‘Bambi' karena terlalu soft rock. Kontradiktif, ya? Itulah uniknya The Tubes!
Roger Steen, gitaris lainnya, sempat mendengar Foster berbicara dengan managernya tentang berapa banyak uang yang harus dihasilkan setiap bulannya. Steen menyadari bahwa Foster mungkin tidak sepenuhnya memahami jiwa The Tubes.
Album ini dirilis pada tahun 1981 dan berhasil masuk Top 30 di Amerika Serikat, berkat lagu-lagu seperti ballad "Don't Want To Wait Anymore" dan power pop "Talk To Ya Later" yang ditulis bersama gitaris Toto, Steve Lukather. Bisnis memang bisnis, bro.
Apakah "The Completion Backward Principle" ini sebuah sellout? Jawabannya tergantung siapa yang kamu tanya. Capitol Records jelas ingin mendapatkan hit, tapi The Tubes juga belum sepenuhnya siap menjadi Toto 2.0. Album ini adalah produk yang bagus, dengan sentuhan komedi yang tetap hadir meskipun tidak se-"gila" dulu.
Antara AOR dan Sindiran: Apa Kata Kritikus?
Para kritikus punya pendapat beragam tentang album ini. Ada yang bilang ballad-nya kurang cocok dengan gaya The Tubes. Ada pula yang memuji lagu-lagu new wave seperti "Talk To Ya Later" dan "Think About Me". "Sushi Girl," dengan liriknya yang provokatif, juga menjadi sorotan.
AllMusic menyebutkan bahwa "The Completion Backward Principle" berhasil menarik penggemar baru bagi The Tubes dan membuka jalan bagi kesuksesan komersial mereka dengan album Outside/Inside dua tahun kemudian. Progrography berpendapat bahwa album ini adalah produk yang bagus, meskipun dipengaruhi oleh selera pasar.
Moving The River menilai bahwa beberapa lagu di album ini, seperti "Don’t Wanna Wait Anymore" dan "Amnesia," terdengar lebih seperti Chicago daripada Devo, namun tetap memorable. Bahkan, mereka menyamakan "Sushi Girl" dengan karya-karya Frank Zappa.
Fans Bicara: Antara Nostalgia dan Kekecewaan
Pendapat para penggemar pun beragam. Mark Herrington merasa album ini punya perpaduan gaya yang eklektik, dengan pengaruh Toto yang cukup kental. Mike Canoe merasa sebagian besar musik di album ini terlalu adult contemporary, meskipun dia tetap menyukai "Talk to Ya Later" dan "Think About Me".
Evan Sanders, yang mengenal The Tubes sejak album pertama mereka, menganggap "The Completion Backward Principle" sebagai album yang menyenangkan, meskipun lebih radio-friendly. Dia menyoroti "Talk To Ya Later" dan "Sushi Girl" sebagai lagu-lagu yang kuat di sisi pertama album.
Gary Claydon, yang sudah mengikuti The Tubes sejak lama, merasa kecewa dengan album ini. Dia menganggap album ini terlalu AOR dan kurang menarik dibandingkan karya-karya mereka sebelumnya.
Chris Elliott, yang hanya menyukai lagu "White Punks on Dope", menganggap album ini terlalu overproduced dan kurang cerdas. Henry Martinez merasa sayang karena The Tubes agak terlupakan, dan album ini membuktikan bahwa mereka punya cara unik dalam membuat lagu pop.
John Davidson merasa sulit untuk menentukan apakah The Tubes menyindir atau justru merangkul AOR. Dia menganggap album ini lebih slick dari karya-karya mereka sebelumnya. John Edgar menganggap album ini sebagai salah satu cornerstone rock/pop tahun 1980-an, tanpa lagu yang jelek.
Steve Pereira, yang mengenal The Tubes sejak era 70-an, menganggap album ini kurang memiliki energi dan inovasi dibandingkan debut album mereka. Dia merasa album ini lebih cocok bagi mereka yang mulai mendengarkan musik di era 80-an. Graham Tarry berpendapat bahwa setiap lagu di album ini punya hook yang kuat. James Last baru akan mendengarkan album ini setelah menjelajahi karya-karya The Tubes sebelumnya. Kevin Mahieu menyebutnya sebagai favorit klasik.
Greg Schwepe bercerita bagaimana dia menjadi penggemar The Tubes berkat teman kuliahnya. Dia menggambarkan The Tubes sebagai band yang cerdas, lucu, dan sedikit "nakal", dengan aksi panggung yang liar. Dia memuji "Don’t Want To Wait Anymore" sebagai power ballad yang luar biasa, meskipun dia tidak yakin apakah lagu itu merupakan parody atau bukan.
Jadi, Worth It Didengerin?
Dengan score akhir 7.68 dari 29 votes, "The Completion Backward Principle" jelas bukan album yang jelek. Album ini adalah perpaduan antara komedi, sindiran, dan ambisi komersial. Album ini mungkin tidak memuaskan semua penggemar The Tubes, terutama mereka yang lebih menyukai aksi panggung mereka yang liar dan nyeleneh. Tapi, album ini tetap punya daya tarik tersendiri, terutama bagi mereka yang menyukai musik pop dengan sentuhan quirky. Jadi, kalau kamu penasaran, coba aja dengerin! Siapa tahu kamu malah jadi suka?