Pernahkah kamu berpikir, bagaimana rasanya jika kematian punya day off? Bukannya libur dari tugas, tapi diberi kesempatan sehari untuk merasakan hidup sebagai manusia? Premis ini mungkin terdengar absurd, tapi di situlah letak daya tarik episode spesial “Death: The High Cost of Living” dari serial Netflix, The Sandman. Episode ini bukan sekadar filler, tapi justru salah satu yang paling berkesan dan menggugah pikiran.
Siapa Sebenarnya Death Itu?
Bagi yang belum familiar, Death dalam The Sandman bukan sosok menakutkan dengan sabit besar. Ia justru digambarkan sebagai perempuan muda bergaya stylish yang penuh empati. Diperankan dengan brilian oleh Kirby, Death memiliki misi mulia: membantu jiwa-jiwa yang meninggal untuk menerima takdir mereka. Ia bukan grim reaper yang kejam, melainkan sahabat terakhir yang menenangkan. Bahkan, ia sempat “menasihati” Dream agar lebih menghargai manusia. Whoa.
Episode ini mengangkat premis dari novel grafis spin-off Sandman tahun 1993. Death diberi kesempatan sekali dalam seratus tahun untuk merasakan hidup sebagai manusia. Tujuannya? Agar ia lebih memahami apa artinya menjadi manusia, dengan segala suka duka dan kompleksitasnya. Konsep ini bukan hanya menarik, tapi juga mengajak kita untuk merefleksikan hidup kita sendiri dari sudut pandang yang berbeda.
London Calling: Petualangan Death di Dunia Manusia
Saat “berlibur”, Death berkeliling London dengan wujud manusia. Ia menikmati hal-hal sederhana, seperti suara lalu lintas yang ramai, rasa veggie wrap yang segar, dan emosi-emosi kuat yang dirasakan orang-orang di sekitarnya. Ia tidak menghakimi, tapi justru berusaha memahami. Ini relatable banget, kan? Kita seringkali terlalu sibuk dengan diri sendiri sampai lupa menikmati hal-hal kecil di sekitar kita.
Dalam perjalanannya, Death bertemu dengan Sexton Furnival, seorang jurnalis yang sedang depresi dan berencana bunuh diri. Sexton merasa dunia ini sudah rusak dan tidak ada harapan lagi. Namun, kehadiran Death mengubah perspektifnya. Death tidak menghakimi keputusasaan Sexton, tapi berusaha menunjukkan bahwa di tengah kegelapan, selalu ada secercah harapan.
Misi Rahasia: Mencari Jiwa yang Hilang
Selain Sexton, Death juga bertemu dengan Mad Hettie, seorang tunawisma yang sudah hidup selama lebih dari 200 tahun. Hettie memberi Death sebuah misi: mencari “jiwa”-nya yang hilang. Meskipun misi ini terkesan sebagai selingan, namun pada akhirnya memiliki makna yang mendalam. Bahkan Death sendiri menganggap pencarian ini sebagai pengalihan perhatian kecil selama hari besarnya.
Good Vibes Only? Tidak Juga!
Meskipun episode ini terasa chill dan positif, bukan berarti tanpa konflik. Death mengajak Sexton ke sebuah nightclub yang dikelola oleh Theo, sosok licik yang langsung tertarik pada “Didi”, identitas samaran Death. Sexton merasa Theo adalah orang jahat, namun Death melihatnya sebagai manusia biasa yang dikuasai oleh ketakutan, penyesalan, dan kebutuhan mendesak.
Percakapan antara Death, Sexton, dan Theo memaksa kita untuk mempertanyakan definisi “orang baik” dan “orang jahat”. Apakah seseorang yang melakukan kesalahan otomatis menjadi jahat? Atau ada faktor-faktor lain yang perlu dipertimbangkan? Episode ini mengajak kita untuk lebih berempati dan tidak mudah menghakimi orang lain.
What’s the Point? Temukan Makna dalam Kesederhanaan
Inti dari “The High Cost of Living” adalah tentang menghabiskan hari yang menyenangkan dan berkesan dengan entitas abadi yang bisa melihat gambaran yang lebih besar dari kita. Ini juga yang menjadi tema utama serial The Sandman: membawa penonton melintasi berbagai zaman untuk menempatkan hidup kita dan kisah-kisah yang kita bagikan dalam konteks yang lebih luas. Deep.
Harga Sebuah Kehidupan
Memangnya, The High Cost of Living itu apa? Judul ini mengacu pada biaya yang harus dibayar untuk menikmati hidup sepenuhnya. Bukan hanya dalam hal materi, tapi juga emosional. Kita harus berani menghadapi rasa sakit, kekecewaan, dan kesedihan agar bisa benar-benar menghargai kebahagiaan dan kesenangan.
Death: Bukan Sekadar Akhir, Tapi Awal yang Baru
Episode ini dengan cerdas menggabungkan elemen fantasi dengan isu-isu sosial yang relevan, seperti depresi, kecanduan, dan pelecehan seksual. Death tidak menutup mata terhadap masalah-masalah ini. Justru, ia menggunakan pengalamannya untuk mendorong orang-orang agar lebih menghargai hal-hal baik dalam hidup, seperti makanan enak, malam yang menyenangkan, dan pelukan hangat. Karena semua itu akan kita rindukan ketika Death datang menjemput.
Kematian: Sahabat Terbaik Kita?
Death, dalam interpretasi The Sandman, bukan sosok yang perlu ditakuti. Ia adalah sahabat terakhir yang membantu kita untuk menerima takdir kita dengan tenang. Ia mengingatkan kita untuk menikmati setiap momen dalam hidup dan menghargai orang-orang yang kita cintai. Ia adalah reminder yang lembut namun kuat bahwa hidup ini singkat dan berharga.
“The Sandman”: Lebih dari Sekadar Fantasi
The Sandman bukan sekadar serial fantasi biasa. Ia adalah refleksi mendalam tentang kehidupan, kematian, cinta, kehilangan, dan makna eksistensi. Serial ini mengajak kita untuk berpikir di luar kotak dan mempertanyakan asumsi-asumsi yang selama ini kita pegang teguh. Ia menawarkan perspektif baru tentang dunia dan diri kita sendiri.
Jangan Lupa, Hidup Itu Singkat!
Pesan utama dari “Death: The High Cost of Living” sangat sederhana: hargai hidupmu. Jangan biarkan rasa takut, penyesalan, atau kekecewaan menghalangi kamu untuk menikmati keindahan dunia. Temukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil dan jangan pernah berhenti belajar dan berkembang. Ingat, Death selalu mengintai. Tapi bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk mengingatkan kita bahwa setiap momen itu berharga.