Dark Mode Light Mode

Upaya Tulus: Seni Hindu, Buddha, dan Jaina Indonesia sebagai Ekspresi Sakral Pribadi

Bayangkan, kamu lagi scroll TikTok dan tiba-tiba nemu video tentang artefak kuno. Eits, jangan langsung skip! Kali ini bukan sekadar “barang antik”, tapi jendela ke tradisi yang masih hidup sampai sekarang.

Museum seringkali menampilkan patung dewa-dewi kuno seolah mereka cuma pajangan estetik. Padahal, banyak tradisi dari masa lalu yang nggak cuma jadi sejarah, tapi masih dipraktikkan oleh jutaan orang. Bagaimana caranya menghormati nilai sakral sebuah objek sambil tetap menjadikannya bagian dari pameran? Ini pertanyaan sulit yang coba dijawab oleh British Museum lewat pameran “Ancient India, Living Traditions”. Pameran ini nggak cuma soal artefak berusia ribuan tahun, tapi juga tentang bagaimana warisan budaya tersebut terus relevan di era modern.

Pameran ini merangkum seni sakral dari Hindu, Buddha, dan Jainisme, serta penyebaran seni devosional tradisi tersebut ke berbagai belahan Asia. Fokus utamanya adalah identitas dan hubungan keagamaan. Meskipun Buddhisme dan Jainisme membedakan diri dari tradisi Hindu yang lebih luas, mereka memiliki kesamaan dalam praktik, kepercayaan, dan ikonografi.

Pentingnya pameran ini terletak pada pendekatannya yang unik. Museum lain biasanya memajang patung-patung secara terpisah tanpa menjelaskan sejarah kompleks di baliknya. Pameran ini mencoba menyajikan narasi yang lebih utuh dan bermakna. Lebih dari sekadar artefak, pameran ini menyuguhkan kisah tentang keyakinan dan praktik yang masih hidup.

Salah satu contohnya adalah patung Ganesha, dewa berkepala gajah. Pengunjung dapat melihat patung Ganesha dari abad ke-4 yang sangat langka, serta versi perunggu yang lebih kecil, mirip dengan yang bisa ditemukan di rumah-rumah dan menjadi objek doa sehari-hari.

Kurator pameran berusaha menghubungkan “patung” yang dipajang dengan “ikon” yang ada di kuil dan rumah. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa benda-benda tersebut bukan sekadar artefak sejarah, tetapi juga bagian dari praktik keagamaan yang berkelanjutan.

Namun, tantangan terbesar bagi museum adalah bagaimana menghormati rasa sakral terhadap objek-objek tersebut. Seringkali, benda-benda sakral dikeluarkan dari konteks praktiknya dan ditampilkan sebagai karya seni sekuler. Pameran ini berusaha menghindari hal tersebut dengan menampilkan artefak dalam konteks yang lebih bermakna.

Menjelajahi Ruang Sakral dengan Sensitivitas

Ruang pameran dirancang untuk menghormati sensitivitas sejarah dan kontemporer Buddhisme dan Jainisme. Perubahan warna yang halus dan penempatan kain tembus pandang digunakan untuk memisahkan area pameran Jain, Buddha, dan Hindu.

Pada saat yang sama, pameran ini juga menyoroti kesamaan konseptual dan sensorik di antara tradisi-tradisi tersebut. Bagian pertama pameran berfokus pada roh alam dan demi-deities yang dimiliki bersama oleh semua tradisi kuno. Suara burung dan alat musik Asia Selatan memenuhi ruangan.

Label penjelasan juga menyoroti penyebaran fitur ikonografi antar tradisi, misalnya antara Buddha dan guru Jain, atau masuknya dewi pembelajaran (Saraswati) dalam pemujaan Hindu dan Jain.

Ganesha di Jawa: Perspektif Lintas Budaya

Salah satu contoh menarik adalah patung Ganesha yang dibuat di Jawa dari batu vulkanik yang menampilkan tengkorak. Label pameran menyoroti berbagai elemen ikonografinya, seperti gading patah (yang konon dipatahkan untuk menulis Mahabharata). Namun, Ganesha ini juga memegang tengkorak, yang merupakan ciri khas versi Jawa.

Label dengan hati-hati menunjukkan bahwa “berbagai komunitas memahami dan menyembahnya secara berbeda”. Kombinasi keterlibatan komunitas dan presentasi kreatif nggak hanya menyampaikan rasa hormat terhadap tradisi, tetapi juga memunculkan respons hormat dari pengunjung.

Pengunjung dari dalam tradisi akan merasa puas dengan deskripsi simbol atau ikon. Sementara itu, pengunjung dari luar tradisi diundang untuk melihat pameran dengan perhatian dan kehati-hatian, seperti yang mungkin mereka lakukan di sebuah katedral.

Bagaimana Benda-benda Ini Bisa Sampai di Sini?

Salah satu kelemahan pameran ini adalah pengakuan yang kurang tegas terhadap proses akuisisi British Museum yang patut dipertanyakan. Mengatakan sesuatu “dikumpulkan” oleh seorang mayor jenderal “saat bertugas di tentara East India Company” nggak sepenuhnya menjawab pertanyaan yang diajukan di awal pameran: “Bagaimana benda itu bisa sampai di sini?”

Bagian ini terasa kurang jujur dan nggak membahas isu penting tentang kolonialisme dan kepemilikan artefak budaya. Hal ini menjadi catatan penting untuk perbaikan di masa depan.

Pameran ini menawarkan narasi visual yang kuat tentang tradisi multi-spiritual India kuno, dipamerkan dengan sensitivitas terhadap komunitas yang masih mempraktikkannya hingga saat ini. Presentasinya yang mendalam menarik, dan kisah yang diceritakan hormat dan inovatif.

Meskipun masih ada ruang untuk perbaikan, terutama dalam hal membahas sejarah akuisisi artefak, “Ancient India, Living Traditions” adalah langkah maju yang penting. Pameran ini menunjukkan arah baru bagi museum untuk mengatasi konteks, responsivitas, dan keterlibatan dengan komunitas.

Intinya, pameran ini nggak cuma tentang artefak, tapi tentang menjembatani masa lalu dan masa kini. Bagaimana tradisi kuno terus hidup dan relevan di dunia yang terus berubah. Jadi, kapan nih kamu mau ajak bestie kamu ke British Museum? Jangan lupa update di Instagram ya!

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Itch.io Cari Alternatif Pembayaran Setelah Larangan Konten Dewasa Berbahasa Indonesia

Next Post

Dropbox Hentikan Pengelola Kata Sandi, Data Pengguna Terancam