Katanya, bikin aplikasi itu gampang. Tinggal “vibe coding,” serahkan semua ke AI, beres! Tapi tunggu dulu… Kenapa ya, aplikasi-aplikasi vibe coding di smartphone sepi banget kayak kuburan developer pas weekend? Jangan-jangan, ada yang salah dengan ramalan masa depan kita?
Vibe Coding: Unicorn di Desktop, Zombi di Mobile?
Vibe coding, alias ngoding dibantu AI, emang lagi naik daun. Startup-startup bermunculan, valuasi langsung jadi unicorn. Tapi, kok, fenomena ini nggak nular ke smartphone, ya? Padahal, aplikasi vibe coding di Android dan iOS udah banyak bertebaran. Kenapa nggak ada yang laku? Apa jangan-jangan, jempol kita lebih cocok buat scroll TikTok daripada ngetik kode?
Menurut data dari Appfigures, cuma segelintir aplikasi yang kecipratan download. Instance: AI App Builder, yang katanya paling laku, cuma punya 16 ribu download dan menghasilkan… jeng jeng jeng… 1.000 dolar! Aplikasi lain, Vibe Studio, malah lebih tragis: 4 ribu download, tapi nol pendapatan. Miris banget, kayak gebetan yang cuma mau temenan.
Ketika Vibe Coding Mobile Masih Jadi Anak Bawang
Kondisi ini memang bisa berubah. Pasar masih muda, aplikasi terus berkembang. Tapi, yang jelas, vibe coding di smartphone masih jauh dari kata matang. Ibaratnya, masih kayak anak bawang yang pengen ikut main Mobile Legends, tapi masih bingung cara beli item.
Startup baru juga terus bermunculan. Vibecode, misalnya, dapat pendanaan 9,4 juta dolar dari Alexis Ohanian (pendiri Reddit). Mereka bikin layanan buat bikin aplikasi iOS pakai AI. Tapi, ya itu tadi, Appfigures aja belum punya datanya. Saking barunya, mungkin masih sibuk cari Wi-Fi gratisan.
Desktop Dulu, Mobile Kemudian?
Sejauh ini, kebanyakan orang masih mainan vibe coding di desktop. Tapi, bukan berarti vibe coding nggak punya peran di smartphone. Justru, teknologi ini diam-diam jadi tenaga penggerak di balik layar banyak aplikasi.
RevenueCat, platform langganan yang dipakai lebih dari 50 ribu aplikasi, melaporkan bahwa mereka mendukung sistem in-app purchase buat lebih dari 50% aplikasi iOS yang dibangun pakai AI. Artinya, meski aplikasinya nggak viral, teknologi vibe coding udah membantu banyak developer meraup cuan.
RevenueCat: Mak Comblang para Vibe Coder?
RevenueCat bilang, jumlah aplikasi yang datang ke mereka karena direkomendasi chatbot AI melonjak jadi 35% dari semua pendaftar baru di kuartal kedua tahun ini. Padahal, tahun lalu angkanya masih di bawah 5%. Wah, jangan-jangan, AI udah jadi mak comblang yang lebih jago dari tante-tante di kondangan?
Platform ini, yang dipakai hampir separuh aplikasi mobile yang terima pembayaran, mencatat bahwa para vibe coder pakai layanan mereka buat otomatis konfigurasi langganan dengan Cursor, Claude Code, dan lain-lain. Jadi, mereka bisa cepat bikin langganan, tes fitur, dan lain-lain. Praktis banget, kayak punya asisten pribadi yang nggak minta gaji.
Vibe Coding Belum Siap Jadi Bintang Utama
Meski banyak yang tertarik, konsensusnya tetap sama: vibe coding belum siap jadi bintang utama. Masih banyak bug, masih banyak kode yang ngaco, masih banyak senior developer yang harus jadi “babysitter” buat AI. Capek, deh!
TechCrunch sempat ngobrol sama beberapa developer yang kerja dengan kode hasil AI. Kata mereka, teknologi ini masih butuh banyak polesan. Survei dari Fastly juga nemuin fakta bahwa 95% developer harus ngabisin waktu ekstra buat benerin kode yang dibikin AI. Jadi, jangan heran kalo vibe coding di smartphone masih sepi peminat.
Tapi, Jangan Remehkan Kekuatan User!
Meski begitu, jangan remehkan kekuatan user! Survei Stack Overflow tahun 2025 nemuin bahwa 84% responden pakai atau berencana pakai tools AI dalam proses pengembangan. Angka ini naik dari 76% tahun lalu. Survei lain dari The Information nemuin bahwa 75% responden setidaknya nyoba vibe coding. Studi dari Jellyfish juga nunjukkin bahwa 90% responden udah integrasi AI ke kerjaan mereka. Edan, kayaknya semua orang udah kena demam AI!
Vibe Coding: Antara Hype dan Realita
Jadi, gimana nasib vibe coding di smartphone? Apakah bakal jadi tren yang meledak kayak lato-lato, atau cuma jadi kenangan pahit kayak Friendster? Jawabannya, mungkin ada di tengah-tengah. Vibe coding punya potensi besar, tapi masih butuh waktu buat matang. Ibaratnya, masih kayak bibit unggul yang butuh pupuk, air, dan perhatian ekstra.
Kenapa Vibe Coding Mobile Masih Sepi? Sebuah Analisa Mojok
Kenapa vibe coding mobile belum se-viral di desktop? Mungkin karena layar smartphone terlalu kecil buat ngoding. Mungkin karena keyboard virtual bikin jempol pegel. Mungkin karena distraksi notifikasi bikin fokus buyar. Atau, mungkin juga karena kita lebih suka main game daripada bikin aplikasi.
Yang jelas, vibe coding di smartphone masih punya banyak tantangan. Tapi, bukan berarti nggak ada harapan. Dengan inovasi terus-menerus, perbaikan bug, dan dukungan komunitas, bukan nggak mungkin suatu saat nanti kita bisa bikin aplikasi keren cuma dari genggaman tangan.
Masa Depan Vibe Coding: Dari Gimmick Jadi Kebutuhan?
Akankah vibe coding jadi masa depan dunia coding? Mungkin iya, mungkin juga nggak. Tapi, yang pasti, teknologi ini udah mengubah cara kita bikin aplikasi. Dulu, ngoding itu kayak main catur: butuh strategi, logika, dan ketelitian. Sekarang, ngoding lebih kayak main sandbox game: bebas bereksperimen, bikin kesalahan, dan belajar dari pengalaman.
Jadi, buat para developer, jangan takut buat nyoba vibe coding. Siapa tahu, dengan bantuan AI, kalian bisa bikin aplikasi yang mengubah dunia. Dan buat para user, jangan ragu buat download aplikasi vibe coding di smartphone kalian. Siapa tahu, kalian bisa jadi Mark Zuckerberg berikutnya. Tapi, inget, jangan lupa bayar pajak!