Popular Now

Pandemi Agreement WHO: Apa Artinya Bagi Generasi Muda Indonesia?

Hidden Cameras: Dari Indie Boy Jadi Bad Boy Lewat Musik Elektro Berlin yang Meditatif

CIFTIS: Siswa Indonesia Promosikan Budaya, Banggakan Negeri

WoW-KL: Festival Sastra Malaysia Bangkitkan Budaya Baca

Dunia literasi kita sedang batuk-batuk manja. Jangan panik! Bukan berarti kiamat buku sudah di depan mata. Tapi, kalau anak muda sekarang lebih hapal skin Mobile Legends daripada nama pahlawan nasional, itu kan… ya, lumayan bikin mikir. Nah, di tengah kegentingan inilah muncul secercah harapan bernama World of Words Kuala Lumpur (WoW-KL) Festival. Sebuah upaya untuk menyuntikkan semangat membaca ke nadi bangsa.

Literasi yang (Semoga) Tidak Sekadar Lips Service

WoW-KL Festival, yang digeber di Sasana Kijang, Bank Negara Malaysia, pada 17-19 September, bukan sekadar festival tiga hari yang habis itu bubar jalan. Sajeet Soudagar, sang festival director yang punya visi segudang, bilang kalau ini adalah awal dari gerakan jangka panjang. Bayangkan, ada rencana bikin klub membaca di sekolah-sekolah, kompetisi menulis tingkat nasional, sampai sistem poin “koin membaca” yang bisa ditukar di toko buku. Ini kayak reward system di game, tapi hadiahnya buku! Sebuah ide yang, jujur saja, bikin kita bertanya-tanya: kenapa nggak kepikiran dari dulu?

Sajeet optimis festival ini bakal menarik lebih dari 2.000 peserta. Mulai dari anak sekolah yang masih polos, mahasiswa yang lagi galau mikirin skripsi, guru-guru yang pusing sama kurikulum, penerbit yang berjuang di tengah gempuran e-book bajakan, penulis yang karyanya cuma dibaca emaknya sendiri, sampai anggota klub buku yang anggotanya lebih sedikit dari jumlah buku di rak mereka. Semuanya tumplek blek jadi satu.

Membangun Kembali Bangsa Pembaca, Penulis, dan… TikTokers?

“Kita pengen bangun kembali Malaysia sebagai bangsa pembaca, penulis, dan pemikir,” kata Sajeet dengan nada penuh semangat. “Cerita itu menghidupkan imajinasi, membangun empati, dan menghubungkan kita sebagai manusia. Buku itu bukan barang mewah – itu penting untuk masa depan kita.” Sebuah pernyataan yang terdengar klise, tapi kalau dipikir-pikir lagi, ada benarnya juga. Di era digital ini, di mana perhatian kita gampang banget kesedot sama notifikasi dan scrolling tanpa henti, buku bisa jadi jangkar yang menstabilkan kita.

Tapi, mari kita jujur-jujuran. Baca buku memang butuh usaha. Lebih enak rebahan sambil nonton YouTube, kan? Apalagi kalau bukunya tebalnya kayak skripsi. Nah, di sinilah tantangannya: bagaimana caranya bikin membaca itu “keren” lagi? Bagaimana caranya bikin anak muda lebih tertarik baca buku daripada update status mantan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang, semoga saja, bisa dijawab oleh WoW-KL Festival.

Para Bintang Literasi yang Siap Meramaikan Panggung

WoW-KL nggak main-main soal pengisi acara. Ada psikolog Datuk Dr Andrew Mohanraj yang siap membongkar isi kepala para pembaca, ada pelopor pendidikan Datuk Parmjit Singh yang punya segudang ide buat bikin sekolah lebih menyenangkan, ada pendongeng Tutu Dutta yang siap menghipnotis anak-anak dengan cerita-cerita ajaib, ada book influencer Diana Yeong yang siap mempromosikan buku-buku keren di media sosial, dan ada penulis muda berbakat Nurul Qurratu’Aini (Nino) yang siap menginspirasi generasi muda untuk menulis.

Mengapa Kita Jadi Bangsa yang Kurang Baca? (Analisis ala Warung Kopi)

Sajeet menyodorkan data yang cukup bikin miris. Katanya, penelitian terbaru menunjukkan kalau kurang dari 60 persen siswa Malaysia mencapai kemampuan membaca yang memadai di usia 10 tahun. Sementara itu, rata-rata anak muda Malaysia menghabiskan berjam-jam di media sosial, tapi cuma beberapa menit saja dengan buku. Ini kayak kita lebih kenal sama influencer daripada sama tokoh sejarah. Ironis, kan?

“Secara global, rentang perhatian semakin menyusut, dan para pendidik memperingatkan bahwa penurunan minat baca mengancam tidak hanya kehidupan budaya tetapi juga inovasi dan pemikiran kritis,” tambahnya. Ini bukan sekadar masalah pribadi, tapi masalah bangsa. Kalau kita nggak bisa baca dengan baik, gimana caranya kita bisa berpikir kritis? Gimana caranya kita bisa membedakan berita hoax sama berita beneran? Gimana caranya kita bisa bikin inovasi yang bermanfaat buat masyarakat?

WoW-KL: Bukan Sekadar Festival, Tapi Gerakan!

“WoW-KL bukan hanya untuk penulis, siswa, atau penerbit. Ini untuk semua orang yang percaya Malaysia bisa menjadi lebih dari apa adanya hari ini,” tegas Sajeet. Sebuah pernyataan yang terdengar heroik, tapi juga menantang. Festival ini bukan cuma buat mereka yang sudah cinta sama buku, tapi juga buat mereka yang masih ragu-ragu, buat mereka yang masih mikir kalau buku itu membosankan, buat mereka yang lebih suka main game daripada baca novel.

Kuala Lumpur: Calon Ibu Kota Literasi Asia Tenggara?

Para penyelenggara berharap festival tahunan ini bakal memperkuat reputasi Kuala Lumpur sebagai pusat budaya literasi di kawasan ini. Dan, lambat laun, membantu Malaysia mendapatkan pengakuan sebagai “negara pembaca” sejati. Sebuah ambisi yang mulia, tapi juga butuh kerja keras. Soalnya, bikin orang Indonesia (dan Malaysia) cinta sama buku itu kayak naklukkin boss di game RPG – butuh strategi, kesabaran, dan sedikit keberuntungan.

Agenda Tiga Hari yang Padat Merayap

Festival ini bakal fokus pada audiens yang berbeda selama tiga hari. Hari pertama (buat sekolah) ada kompetisi menulis, forum buku anak-anak, dan workshop buat orang tua dan guru. Hari kedua (buat universitas dan anak muda) ada kontes cerita pendek, panel tentang karier di dunia penerbitan dan digital storytelling, dan forum dengan judul provokatif “How to Make Literature Cool Again”. Hari ketiga (buat umum) ada obrolan sama penulis, peluncuran buku, workshop penulisan skenario, dan WoW-KL Awards yang memberikan penghargaan buat editor, pustakawan, ilustrator, dan toko buku independen.

Para Pendukung yang Nggak Main-Main

WoW-KL didukung oleh berbagai pihak yang punya nama besar. Ada Perpustakaan Nasional Malaysia, Asosiasi Penulis Malaysia, Perpustakaan Jasa Keuangan Bank Negara Malaysia, British Council, Asosiasi Nasional Lembaga Pendidikan Swasta (NAPEI), dan Google Malaysia. Dengan dukungan sebesar ini, rasanya WoW-KL punya modal yang cukup buat bikin gebrakan di dunia literasi.

Semoga Bukan Sekadar Euforia Sesat

Pertanyaannya sekarang, apakah WoW-KL Festival ini bakal sukses mengubah Malaysia jadi negara pembaca? Apakah anak muda Malaysia bakal lebih tertarik baca buku daripada main TikTok? Jawabannya tentu saja nggak ada yang tahu. Tapi, yang jelas, upaya ini patut diapresiasi. Soalnya, di tengah gempuran informasi yang nggak jelas juntrungannya, di tengah budaya instan yang serba cepat, buku bisa jadi oase yang menyejukkan, sumber inspirasi yang tak pernah kering, dan teman setia yang selalu ada saat kita butuh.

Jadi, mari kita dukung WoW-KL Festival. Mari kita ramaikan acara-acaranya. Mari kita beli buku-bukunya. Dan, yang paling penting, mari kita mulai membaca lagi. Siapa tahu, dengan membaca, kita bisa jadi lebih pintar, lebih bijaksana, dan lebih keren dari sebelumnya.

Akankah Festival Ini Mampu Membalikkan Tren?

WoW-KL Festival punya cita-cita mulia: membangkitkan kembali minat baca di Malaysia. Ini bukan tugas enteng, mengingat godaan media sosial dan hiburan digital lainnya semakin kuat. Tapi, dengan pendekatan yang inovatif dan dukungan dari berbagai pihak, bukan tidak mungkin festival ini bisa memberikan dampak positif. Semoga saja, ini bukan sekadar euforia sesaat, tapi awal dari perubahan yang berkelanjutan.

Previous Post

Pandemi Agreement WHO: Apa Artinya Bagi Generasi Muda Indonesia?

Next Post

Netanyahu Berjudi di Qatar: Gagal, Reputasi Hancur?

Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *