Dunia musik memang penuh kejutan, seperti gebetan yang tiba-tiba nikah. Kadang, nostalgia adalah kunci, tapi kadang juga bisa jadi bumerang. Mari kita bedah fenomena ini, khususnya dalam ranah musik yang lagi ramai dibicarakan.
Musik itu bagaikan fashion, selalu ada siklusnya. Dulu, trip-hop berjaya dengan Dummy-nya Portishead. Sekarang, gema turntablism mereka masih terasa di karya-karya musisi kekinian seperti Sky Ferreira atau bahkan a.s.o. Perpaduan vokal melankolis dan ritme komputerisasi yang dingin itu jadi aesthetic instan buat nihilisme dan eksistensialisme. Keren, kan?
Tapi, meniru gaya lama itu nggak selalu berhasil. Kadang, inovasi diperlukan untuk tetap relevan. Nah, di sinilah tantangan bagi musisi yang ingin membangkitkan kembali kejayaan masa lalu. Apakah mereka bisa memberikan sesuatu yang baru atau malah terjebak dalam nostalgia semata?
Karya yeule, misalnya, seringkali bermain dengan nostalgia. Album softscars menggunakan nu-metal dan grunge untuk menyalurkan amarah, sedangkan Glitch Princess memasukkan unsur indie folk. Namun, pertanyaannya adalah, apakah album terbarunya, Evangelic Girl is a Gun, berhasil mempertahankan formula tersebut?
Nostalgia Trip-Hop: Berhasilkah Bernostalgia?
Album Evangelic Girl is a Gun memang mencoba menghidupkan kembali era trip-hop. Namun, alih-alih memberikan sesuatu yang segar, album ini justru terasa familiar. Mungkin terlalu familiar. Bayangkan kamu makan nasi goreng, tapi rasanya sama persis dengan nasi goreng di warung sebelah. Nggak ada yang salah, tapi nggak ada yang spesial juga.
Lagu-lagu seperti "Tequila Coma" dan "What3vr" mengingatkan kita pada Moby atau Massive Attack. "VV" bahkan terdengar seperti lagu soft rock era 2000-an ala Ingrid Michaelson. Secara teknis, album ini terdengar tajam berkat production dari A.G. Cook, Clams Casino, dan Mura Masa. Efek-efek suara seperti kokang pistol di "Saiko" atau flash kamera di "1967" cukup menarik. Tapi, secara keseluruhan, album ini terasa… membosankan?
Album ini terasa kurang greget. Tidak ada momen yang benar-benar membekas di ingatan. Tidak ada gebrakan atau kejutan yang membuat kita terkesima. Semuanya terasa datar dan hambar. Padahal, dengan judul yang provokatif, album ini menjanjikan sesuatu yang lebih dari sekadar nostalgia.
Evangelic Girl is a Gun: Terlalu Pendek atau Terlalu Lama?
Dengan durasi hanya 31 menit, Evangelic Girl is a Gun adalah album terpendek yang pernah dirilis yeule. Namun, karena repetisi dan ritme yang lambat, album ini terasa jauh lebih lama dari durasinya. Ibaratnya, kamu sedang menunggu loading video HD dengan koneksi internet ala kadarnya. Menyiksa, kan?
Dua lagu pertama terasa lambat dan monoton. Momen-momen klimaks di "Eko" dan "1967" justru tenggelam di tengah noise dan filter vokal. "Skullcrusher" bahkan terdengar seperti diputar setengah kecepatan. Tidak ada emotional anchor seperti "dazies" di softscars atau momen vulnerable seperti "Don’t Be So Hard on Your Own Beauty" di Glitch Princess.
Intinya, album ini gagal menciptakan koneksi emosional dengan pendengarnya. Semua terasa hampa dan artificial. Mungkin yeule terlalu fokus pada aspek teknis dan melupakan esensi dari sebuah lagu yang bagus: perasaan.
Efek Produser Beken: Bikin Kecewa?
Kehadiran A.G. Cook, Clams Casino, dan Mura Masa sebagai produser seharusnya menjadi jaminan kualitas. Namun, dalam kasus Evangelic Girl is a Gun, efek mereka justru terasa kurang maksimal. Seolah-olah mereka hanya memberikan sentuhan akhir tanpa benar-benar terlibat dalam proses kreatif.
Mungkin masalahnya bukan pada kemampuan para produser, tetapi pada direction album itu sendiri. Jika direction-nya kurang jelas, produser sekelas apapun akan kesulitan untuk menghasilkan sesuatu yang istimewa. Ibaratnya, kamu punya bahan-bahan makanan berkualitas tinggi, tapi resepnya nggak jelas. Hasilnya? Ya, masakan yang biasa-biasa saja.
Mungkin, terlalu banyak nama besar dalam satu proyek justru bisa menjadi bumerang. Masing-masing produser punya style dan visi masing-masing. Jika tidak ada chemistry yang kuat, hasilnya bisa jadi Frankenstein’s monster: banyak bagian bagus, tapi nggak nyambung satu sama lain.
Pelajaran dari Evangelic Girl is a Gun
Album Evangelic Girl is a Gun menjadi pengingat bahwa nostalgia saja tidak cukup. Musisi perlu memberikan sesuatu yang baru, inovatif, dan orisinal untuk memikat hati pendengar. Meniru gaya lama boleh saja, tapi jangan sampai kehilangan jati diri.
Nostalgia bisa jadi powerful tool, tapi harus digunakan dengan bijak. Jangan sampai kita terjebak dalam nostalgia semata dan melupakan pentingnya eksplorasi dan eksperimen. Musik itu dinamis, selalu berkembang. Kita harus terus mengikuti arus dan berani keluar dari zona nyaman.
Jadi, apa takeaway dari semua ini? Jangan takut untuk bernostalgia, tapi jangan lupa untuk terus berinovasi. Jadilah seperti coding, selalu update dan cari bug! Dan ingat, musik yang bagus itu bukan hanya soal teknis, tapi juga soal perasaan. Jadi, dengarkan dengan hati, bukan hanya dengan telinga.