Bayangkan sebuah kemah musim panas, namun bukan lagi diisi oleh riuhnya anak-anak yang berebut _spot_ tenda terbaik, melainkan para pujangga, novelis, dan esais dewasa. Mereka berkumpul di Saratoga Springs, New York, untuk workshop menulis yang menyenangkan, lengkap dengan aliran anggur yang konon bisa ‘menginspirasi’ perdebatan paling sengit. Salah satu kenikmatan dari program unik ini adalah tradisi makan malam bersama para staf pengajar setiap hari kerja. Pertemuan ini sering kali dihiasi kehadiran penulis tamu ternama dari New York City atau daerah lain, yang siap berbagi wawasan sebelum memberikan kuliah mereka.
Tahun ini, salah satu nama besar yang hadir adalah Jamaica Kincaid, seorang penulis Antiguan-Amerika yang karya-karyanya selalu memicu diskusi. Kedatangannya secara tak langsung mengingatkan pada sebuah kutipan menarik miliknya yang pernah menjadi buah bibir di media sosial, jauh sebelum Twitter berganti nama menjadi X. Kutipan tersebut berbunyi, “Sangat penting untuk melindungi kebebasan berbicara. Dan sangat penting untuk mempraktikkan seni _shunning_. Mereka boleh mengatakan hal-hal mengerikan sesuka mereka, dan saya tidak perlu lagi berbicara dengan mereka.”
## Ketika Kebebasan Berbicara Berhadapan dengan _Silent Treatment_
Kutipan Kincaid tentang pentingnya melindungi kebebasan berbicara sekaligus mempraktikkan “seni _shunning_” ini memang provokatif. Ini bukan sekadar tentang _cancel culture_ yang ramai dibicarakan, melainkan tentang hak individu untuk menarik diri dari percakapan. Gagasan ini seolah memberikan _power_ kepada seseorang untuk menentukan siapa yang layak didengarkan dan siapa yang cukup “dibiarkan bicara sendiri.” Dalam konteks yang lebih luas, ini menekankan bahwa meskipun ada hak untuk berekspresi, tidak ada kewajiban untuk terus terlibat dengan setiap ekspresi yang muncul.
Konsep _shunning_ ini sejatinya sudah ada jauh sebelum era media sosial. Dahulu kala, di komunitas-komunitas kecil, pengucilan sosial bisa menjadi bentuk hukuman yang sangat berat. Hari ini, Kincaid melihatnya sebagai alat pertahanan pribadi di tengah _bising_ informasi. Sebuah upaya untuk menjaga _boundaries_ mental dari hal-hal yang dianggap merugikan atau tidak relevan. Ini seperti filter pribadi yang otomatis aktif ketika _vibes_ tidak lagi _nyambung_.
Momen Kincaid menyampaikan pemikirannya ini terjadi selama masa yang kini banyak disebut sebagai “The Great Awokening.” Istilah ini merujuk pada era keselarasan ideologis di sayap kiri, yang mencapai puncaknya sekitar musim panas 2020. Periode ini ditandai dengan intensitas perdebatan sosial, di mana isu-isu keadilan sosial dan identitas menjadi sangat sentral.
Pada masa tersebut, atmosfer diskusi publik sering kali terasa _fragile_, di mana satu kesalahan ucapan bisa memicu gelombang kritik masif. Ada semacam tekanan tak terlihat untuk selalu berada di garis ideologi tertentu. Fenomena ini menciptakan lingkungan di mana banyak pihak merasa perlu untuk berhati-hati, bahkan mungkin sampai membatasi ekspresi mereka. Diskusi yang tadinya diharapkan _fluid_ malah jadi terasa kaku dan penuh jebakan.
“The Great Awokening” sendiri secara luas diasumsikan dimulai secara serius pada masa pemerintahan Obama kedua. Periode ini melihat peningkatan kesadaran dan aktivisme seputar berbagai isu progresif. Dari isu rasial hingga gender, topik-topik ini mulai mendominasi narasi publik dan memengaruhi cara orang berinteraksi.
## Zaman _Awokening_: Era ‘Wajib Seirama’?
Puncak dari gelombang ini terlihat jelas pada musim panas 2020, saat gerakan-gerakan sosial besar mendapatkan momentum global. Ini adalah masa di mana norma-norma sosial dan etika berdiskusi mengalami _reboot_ besar-besaran. Setiap individu, institusi, hingga merek, merasa terpanggil untuk menunjukkan posisi dan komitmen mereka terhadap isu-isu yang sedang hangat.
Dalam _landscape_ yang serba peka ini, kutipan Kincaid menemukan relevansinya. Bagaimana seseorang bisa menjaga kebebasan berekspresi, di sisi lain, juga punya hak untuk tidak terlibat dalam percakapan yang dianggapnya _toxic_ atau tidak produktif? Ini adalah dilema modern yang seringkali membuat kepala pusing. Di satu sisi, ada dorongan untuk bersuara, di sisi lain ada _privilege_ untuk tidak mendengarkan.
Namun, seperti halnya setiap _era_ yang memiliki pasang surutnya, gelombang “The Great Awokening” tampaknya telah mencapai titik balik. Peristiwa global, terutama serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023, diyakini menjadi katalisator perubahan signifikan. Setelah peristiwa tersebut, terjadi pergeseran narasi yang dramatis dalam diskusi publik.
Kejadian 7 Oktober memicu _backlash_ besar-besaran, terutama dari sayap kanan, yang melanda berbagai institusi penting. Akademisi, lembaga budaya, dan media di Amerika Serikat merasakan dampaknya secara langsung. Diskusi yang tadinya berpusat pada satu spektrum ideologi, kini terpecah dan lebih terpolarisasi. Ini seperti _game_ yang tiba-tiba _loading_ ulang dengan _rules_ yang berbeda.
## Setelah Oktober 7: Tombol _Reset_ Diskusi Publik
Narasi yang sebelumnya mendominasi mulai dipertanyakan dan digeser oleh perspektif yang lebih beragam, bahkan kontradiktif. Peristiwa tersebut membuka kembali ruang bagi argumen-argumen yang sebelumnya mungkin terpinggirkan. Ini bukan berarti _awokening_ sepenuhnya hilang, melainkan _evolusi_ yang tak terelakkan dari sebuah fenomena sosial.
Fenomena ini mengingatkan bahwa _diskusi_ adalah makhluk hidup yang selalu beradaptasi. _Shunning_ ala Kincaid mungkin menjadi lebih relevan dalam era pasca-oktober 7 ini. Ketika semua pihak semakin vokal dan seringkali _clash_, kemampuan untuk _pick your battles_ menjadi kunci. Ini bukan tentang melarikan diri dari realitas, melainkan tentang mengelola energi dan fokus pada diskusi yang konstruktif.
Pergeseran ini menyoroti dinamika kompleks antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial. Di tengah kebisingan dan polarisasi, menjaga _sanity_ dan fokus pada nilai-nilai inti menjadi tantangan tersendiri. Mungkin saja, _skill_ untuk ‘mengheningkan cipta’ dari kebisingan yang tak perlu adalah _soft skill_ paling berharga di era digital ini.
Kini, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana masyarakat akan menavigasi _landscape_ baru ini. Apakah akan ada _era_ ideologis baru yang muncul? Atau justru ini adalah kesempatan untuk membangun jembatan diskusi yang lebih kuat, di mana _shunning_ diterapkan secara selektif, bukan sebagai alat sensor, melainkan sebagai _tool_ untuk menjaga kesehatan mental di tengah _battleground_ opini.
Dengan demikian, kutipan Jamaica Kincaid bukan hanya sekadar kalimat singkat. Ia adalah cerminan dari _struggle_ abadi antara hak untuk bersuara dan hak untuk tidak mendengarkan. Dalam _game_ perdebatan publik yang terus _update patch_-nya, kemampuan untuk menentukan kapan harus bicara dan kapan harus diam, ternyata menjadi _skill_ vital yang tak bisa disepelekan.