Apa yang masyarakat butuhkan dari layanan darurat? Kecepatan, responsivitas, atau prosedur yang sempurna? Dalam sebuah tweet viral baru-baru ini, seorang warganet dengan santai, namun penuh makna, menyoroti bagaimana Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar) sering kali menjadi simbol kepercayaan publik. Sementara itu, institusi lain seperti kepolisian justru sering mendapat kritik karena dianggap lamban atau terlalu prosedural.
“Balita telepon 911 di luar negeri saja dilayani serius. Kalau di sini, Damkar pun sigap datang untuk hal sepele seperti digigit semut. Tapi, coba lapor ke Polsek, beda ceritanya,” demikian inti dari tweet tersebut. Meski terdengar sederhana, pernyataan ini membuka diskusi menarik soal ekspektasi masyarakat terhadap layanan darurat di Indonesia.
Respons Cepat vs. Prosedur yang Kaku
Damkar sering kali dipuji karena respons cepat mereka tanpa banyak tanya. Kebakaran? Mereka langsung datang. Sekedar digigit semut? Hadir dengan peralatan lengkap. Layanan mereka tidak dibatasi wilayah, biaya, atau prosedur panjang.
Sebaliknya, kepolisian kerap dianggap terlalu berhati-hati. Banyak masyarakat mengeluhkan sikap “harus ada bukti” sebelum laporan diterima. Memang benar, prosedur ini penting secara hukum, tapi di sisi lain, respons lamban sering dianggap sebagai kurangnya empati dalam situasi darurat.
Pertanyaannya: lebih baik responsif dengan risiko kecil salah, atau terlalu prosedural tetapi kehilangan momentum? Dalam kasus layanan darurat, masyarakat tampaknya lebih menghargai tindakan cepat yang berbasis kepercayaan, meskipun terkadang itu berarti mengorbankan kesempurnaan prosedur.
Pelajaran dari Damkar: Aksi Nyata di Tengah Darurat
Kepercayaan publik terhadap Damkar tidak datang dari slogan atau iklan besar-besaran, melainkan aksi nyata. Bayangkan kalau Damkar bertanya dulu, “Apa buktinya rumah Anda kebakaran?” atau “Punya surat tanah untuk konfirmasi?” Respon seperti ini pasti membuat masyarakat hilang kepercayaan.
Namun, budaya kerja Damkar yang selalu mendahulukan tindakan daripada prosedur panjang memberikan mereka tempat khusus di hati masyarakat. Tidak hanya itu, mereka bahkan bersedia menangani masalah yang bukan tanggung jawab utama mereka, seperti mengevakuasi hewan liar atau membantu warga yang terjebak situasi sulit.
Kritik Terhadap Layanan Lain dan Harapan Besar
Di sisi lain, warganet tidak meminta institusi seperti kepolisian untuk mengabaikan hukum. Yang mereka harapkan adalah respons yang lebih sigap dan empati lebih besar dalam menghadapi laporan darurat.
Sikap prosedural yang terlalu kaku tidak hanya menciptakan kesan lamban, tetapi juga sering kali membuat masyarakat mencari jalan pintas, seperti mengandalkan “orang dalam” atau bahkan main hakim sendiri. Ini jelas mencerminkan krisis kepercayaan terhadap institusi yang seharusnya menjadi pelindung hukum.
Membangun Kepercayaan Lewat Aksi Cepat
Jika ingin membangun layanan darurat yang lebih baik, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan:
- Empati di Barisan Depan: Pelatihan khusus tentang empati dan komunikasi harus menjadi prioritas bagi semua institusi layanan darurat. Prosedur boleh ada, tapi empati harus menjadi dasar setiap interaksi.
- Tindakan Dulu, Verifikasi Belakangan: Dalam situasi genting, tindakan cepat lebih dihargai daripada kesempurnaan. Verifikasi laporan bisa dilakukan setelah situasi terkendali.
- Standarisasi Respons Darurat: Semua layanan darurat harus memiliki SOP yang fokus pada kecepatan, efisiensi, dan kepedulian, tanpa membedakan jenis institusi.
- Peningkatan Fasilitas dan Kesejahteraan: Tidak hanya Damkar, institusi lain juga perlu mendapatkan dukungan maksimal dalam bentuk alat modern, pelatihan berkala, dan peningkatan kesejahteraan petugasnya.
- Transparansi: Laporan rutin tentang kinerja layanan darurat dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat.
Kepercayaan Itu Dibangun, Bukan Diminta
Damkar membuktikan bahwa kepercayaan masyarakat bisa diraih lewat aksi nyata, bukan sekadar janji atau prosedur. Namun, mempertahankan kepercayaan ini butuh kerja sama dari semua pihak: petugas di lapangan, pemerintah, dan masyarakat.
Sebagai pengguna layanan publik, kita pun punya peran. Apresiasi sederhana, seperti ucapan terima kasih atau dukungan moral, adalah bentuk penghargaan atas kerja keras mereka.
Pada akhirnya, masyarakat hanya ingin satu hal dari layanan darurat: kehadiran yang nyata saat mereka butuh. Kalau Damkar bisa melakukannya dengan baik, kenapa institusi lain tidak?