Deftones: Dari Teriak-Teriak di Panggung Sampai Jadi Idola Gen Z yang “Estetik”, Kok Bisa?
Beberapa dekade lalu, jika ada yang meramalkan Deftones akan menjadi salah satu band paling dihormati dan berpengaruh dari era 90-an, mungkin mereka akan ditertawakan. Bagaimana tidak, band yang dulunya paling dikenal karena vokalisnya melompat-lompat di panggung saat meng-cover “Ice Cube” milik Korn atau hit Top 40 mereka tentang “menjejal-jejalkan sesuatu” ini, kini telah “level up” reputasinya secara dramatis. Mereka bahkan bukan band rock terbaik dengan rapper canggung di Sacramento saat debut dengan Adrenaline pada tahun 1995; saat itu, seperti banyak pemuda di zamannya, mereka ditemani oleh seorang DJ di panggung dan studio. Sungguh sebuah transformasi yang hampir mustahil, bukan?
Dari “B-Lister” ke “Pahlawan” Rock Alternatif
Bayangkan saja, sekarang Hayley Williams ikut bergabung di panggung untuk menyanyikan “Minerva.” Kita sudah melewati satu dekade penuh sejak Deafheaven dan Nothing “mencuri” trik mereka dari black metal dan shoegaze. Kancah musik indie di seluruh dunia kini dipenuhi band-band yang memainkan riff “punisher” drop-D, sementara vokalis ber-hoodie berbisik tentang seks yang intens. Fenomena ini jelas menunjukkan jejak pengaruh yang tak terhindarkan.
Bahkan, jika menjelajahi Reddit, komunitas online itu “terblokir” dengan perdebatan sengit tentang apakah Deftones masuk kategori nu-metal atau shoegaze, serta implikasi sosiologis dari jawaban pribadi terhadap pertanyaan tersebut. Ini bukan lagi sekadar genre, melainkan identitas yang diperdebatkan. Musim panas lalu, mereka sukses menggelar tur arena di seluruh negeri, meskipun album terakhir mereka dirilis sebelum vaksin Covid ditemukan.
Los Angeles Times, dalam ulasan mereka tentang salah satu dari dua pertunjukan yang terjual habis di Inglewood, menyebut Deftones sebagai “band heavy rock favorit Gen Z.” Perlu dicatat, anggota tertua Gen Z bahkan dua tahun lebih muda dari usia album Adrenaline. Ini sebuah paradoks yang menarik, bagaimana sebuah band dari era 90-an bisa begitu relevan bagi generasi yang lahir jauh setelah karya-karya awal mereka.
Pergeseran dramatis reputasi Deftones, dari band nu-metal “B-lister” menjadi pahlawan avant-rock, sebenarnya tidak hanya berkaitan dengan pertumbuhan artistik mereka. Meskipun pertumbuhan itu memang patut diakui, namun yang lebih signifikan adalah evolusi cara orang-orang yang gemar memikirkan musik rock merasakan konsep “keberatan,” “romansa,” “primasi kehidupan emosional,” dan “memiliki tubuh secara umum.” Fenomena ini menciptakan kondisi unik di mana “private music,” album Deftones pertama sejak Ohms yang dirilis tahun 2020, bisa eksis dan diterima.
Bukan Sekadar Nostalgia, Ini Pengaruh yang Abadi
Mungkin Green Day dan Foo Fighters masih menarik kerumunan yang lebih besar, atau Korn dan System of a Down memiliki daya tarik nostalgia yang lebih kuat. Namun, untuk menemukan artis lain dari tahun 90-an yang pengaruhnya terus tumbuh dan masih mampu berkarya di level tinggi, Deftones bisa dibilang berada di kategori yang sama dengan Radiohead (yang sudah satu dekade tidak merilis rekaman) dan Björk (yang, meskipun terus populer, tidak bisa mengisi multiple night di Forum). Mereka, melawan segala rintangan, telah mencapai status elit.
Bagaimana mereka bisa sampai pada titik ini, bisa dibilang puncak popularitas mereka, 25 tahun setelah rilis album terlaris mereka? Jawabannya terletak pada konsistensi dan kemampuan mereka untuk beradaptasi tanpa kehilangan esensi. Meskipun “private music”—seperti A Moon Shaped Pool milik Radiohead dan Fossora dari Björk—mungkin tidak akan menarik pendengar yang belum yakin, namun seperti rekaman-rekaman tersebut, album ini menunjukkan bahwa Deftones sepenuhnya menguasai suara khas mereka yang langsung dikenali.
Mereka mampu dengan mudah “membengkokkan” suara itu di sekitar struktur apa pun yang mereka tempatkan. Ambil contoh lagu “cXz,” setelah interlude yang terdengar seperti Tim Hecker menghela napas melalui hurdy-gurdy, lagu ini memiliki chorus melamun yang mungkin kini bisa ditulis vokalis Chino Moreno dalam mimpinya. Ini menunjukkan tingkat penguasaan dan keintiman dengan materi yang jarang ditemukan.
Namun, alih-alih membiarkannya melayang ke awan dengan “roket” suara tebal, band ini justru bergeser ke staccato yang mengubah momentum, dipimpin oleh permainan drum Abe Cunningham. Ini adalah hal kecil yang halus, namun ketegangan yang diciptakan membuat lagu terasa “gatal” dan tidak sabaran tanpa mengorbankan keindahannya. Perpaduan antara kenyamanan yang mengganggu dan keindahan yang disisipi ketegangan adalah ciri khas Deftones.
Kenyamanan yang mengganggu dalam musik Deftones sering kali berasal dari perlakuan mereka terhadap “keberatan” (heaviness) dan “keindahan” (prettiness). Sebuah lagu Deftones yang hebat bisa terasa seperti pendakian yang melelahkan menuju pemandangan menakjubkan yang kemudian mengungkap badai dahsyat di cakrawala. Ketegangan inilah yang membuat pengalaman mendengarkan menjadi begitu unik dan multidimensional.
Tarikan dalam tekstur lagu “cXz” ini terasa seperti lagu itu mendorong pendengar menjauh dari “hadiah” yang dijanjikannya. Ini adalah trik cerdas yang membuat pendengar terus terlibat, terus mencari resolusi yang mungkin tidak pernah datang sepenuhnya, mencerminkan kompleksitas emosi yang diangkat dalam lirik dan aransemennya. Hal ini membuat musik Deftones tetap segar dan relevan, bahkan bagi generasi baru yang baru pertama kali merasakannya.
Deftones berhasil menjadi anomali yang luar biasa dalam lanskap musik rock. Mereka tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang dan semakin berpengaruh, menarik pendengar dari berbagai generasi. Kisah mereka adalah bukti bahwa inovasi artistik dan kemampuan untuk merefleksikan perubahan emosi kolektif adalah kunci keabadian dalam industri musik yang terus berputar. Mereka adalah Deftones, dan mereka kini berada di puncak permainan mereka, secara mengejutkan namun pantas.