Di era serba digital ini, ketika scroll Instagram bisa lebih bikin deg-degan daripada laporan keuangan bulanan, siapa sangka ada satu negara yang memutuskan untuk bermain di liga yang berbeda. Bayangkan saja, alih-alih pusing memikirkan pabrik dan baja, mereka malah ingin kita ketagihan soundtrack K-Drama terbaru atau dance challenge K-Pop yang tak henti-hentinya muncul di feed. Ya, Seoul kini sedang ngebut memperluas jangkauan global gelombang kebudayaan mereka, atau yang lebih dikenal sebagai Hallyu, sebagai taruhan besar di tengah badai proteksionisme yang mengancam sektor manufaktur tradisional.
Korea Selatan, negara yang biasanya kita kenal sebagai markas raksasa teknologi seperti Samsung dan Hyundai, kini juga menikmati sorotan berkat boyband BTS yang fenomenal. Tak hanya itu, ada pula film peraih Oscar Parasite, serial televisi Squid Game yang bikin mata susah kedip, novel The Vegetarian karya Han Kang yang membawa pulang Nobel Sastra pada tahun 2024, hingga yang terbaru, musikal Maybe Happy Ending. Ini menunjukkan betapa beragamnya amunisi budaya yang mereka miliki, siap membanjiri pasar global dengan pesona khasnya.
Meskipun pertumbuhannya melesat cepat dari basis yang rendah, berkat dukungan pemerintah yang signifikan dan visibilitas tinggi di panggung dunia, kontribusi industri ini terhadap ekonomi masih terbilang kecil. Ibaratnya, baru seujung kuku dibanding gurita raksasa manufaktur yang sudah puluhan tahun berjaya. Namun, bukan berarti ambisi untuk mendominasi hati dan pikiran miliaran orang di dunia ini bisa diremehkan.
Para eksekutif perusahaan produksi besar, seperti yang diungkapkan kepada Reuters, melihat India, Amerika Latin, dan Timur Tengah sebagai pasar baru yang sangat menjanjikan. Produk budaya Korea ini terbukti memiliki daya tarik global yang kuat, mampu menembus batas-batas geografis dan bahasa. Potensi untuk menggaet audiens baru ini menjadi target utama dalam strategi ekspansi mereka.
Mr. Jason Jaesang Lee, kepala eksekutif agensi K-pop Hybe yang menaungi BTS, menyatakan bahwa kawasan Amerika Latin adalah area fokus utama, terutama karena wilayah tersebut dikenal sebagai tempat kelahiran musik Latin. Hybe bahkan berencana untuk mengadakan audisi di Amerika Latin guna meluncurkan boyband baru, menyusul debut sukses girl group Katseye di AS tahun lalu yang anggotanya berasal dari empat negara berbeda. Langkah ini menunjukkan keseriusan dalam menancapkan akar di pasar-pasar baru.
Menurut Mr. Lee, definisi Hallyu itu sendiri sedang mengalami perluasan makna. Jika konten dibuat di luar negeri namun diproduksi oleh perusahaan Korea, atau bahkan entitas di luar negeri yang didukung oleh modal Korea, ia tetap percaya bahwa itu harus dianggap sebagai bagian dari Hallyu. Ini adalah cara cerdik untuk memastikan “DNA Korea” tetap melekat, sekalipun produksinya sudah melintasi benua.
Hallyu: Bukan Sekadar Senyum Manis, tapi Bisnis Miliar Dolar (Belum)
Kendati demikian, kecil kemungkinan ekspor budaya akan menggantikan peran manufaktur dalam waktu dekat. Data bank sentral menunjukkan bahwa ekspor kekayaan intelektual (IP) Korea Selatan, mulai dari musik, film, hingga game, memang melonjak lebih dari tiga kali lipat selama dekade terakhir menjadi US$9,85 miliar pada tahun 2024. Namun, angka ini masih jauh di bawah ekspor barang yang mencapai US$696,2 miliar di tahun yang sama, naik 13 persen. Ini menandakan bahwa mesin manufaktur masih menjadi tulang punggung ekonomi.
CJ ENM, produser Parasite, juga turut memperluas bisnis globalnya tahun ini. Perusahaan ini mulai menyuplai K-Drama ke Timur Tengah dan Afrika Utara melalui kemitraan dengan platform streaming regional pada bulan Juni. Mr. Sean Cho, executive vice president divisi bisnis global CJ ENM, melihat Timur Tengah sebagai pasar yang menjanjikan dalam jangka panjang karena popularitas Hallyu yang tinggi di kalangan generasi muda.
Di pasar-pasar besar seperti Jepang, Asia Tenggara, dan Amerika Serikat, CJ ENM tengah memperluas kemitraan, termasuk dengan Amazon Prime Video. Tujuannya adalah untuk menghadirkan produksi bersama yang memadukan elemen-elemen Korea dengan budaya lokal. Ini adalah strategi kolaborasi budaya yang cerdas, memastikan Hallyu tetap relevan dan diterima di berbagai konteks.
Game On! Saat Jempol Kita Jadi Mesin Uang Korea
Bagi industri game, sektor yang menjadi sapi perah sejati Hallyu karena menyumbang lebih dari separuh ekspor IP Korea Selatan, India menjanjikan pertumbuhan pesat. Industri game Korea terkenal dengan PUBG: Battlegrounds dari Krafton yang telah meraih banyak penghargaan. Meskipun pasar India saat ini hanya sepersepuluh dari Korea Selatan, potensinya sangat besar.
Mr. Sean Hyunil Sohn, kepala eksekutif Krafton India, menyatakan bahwa pasar game India masih berada pada tahap awal dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya. Krafton India berencana untuk mengeksploitasi potensi pertumbuhan ini dengan menambahkan genre dan jenis game baru, berharap bisa mengukir kesuksesan yang sama seperti di pasar lain.
Pemerintah Pun Ikut Nge-Vibe: Soft Power ala Seoul
Presiden Lee Jae Myung, yang baru menjabat pada 4 Juni, telah berjanji untuk memberikan dukungan dan investasi guna menjadikan Korea Selatan sebagai “kekuatan lunak lima besar”. Target ambisiusnya adalah meningkatkan nilai pasar menjadi 300 triliun won dan ekspor hingga 50 triliun won (sekitar US$36 miliar) pada tahun 2030. Ini bukan sekadar janji manis, melainkan cetak biru ambisius yang melibatkan seluruh sektor.
Dalam sebuah talk show baru-baru ini, Presiden Lee menekankan bahwa pemerintah akan berperan sebagai fondasi kuat, bukan hanya menyerahkannya pada perusahaan individual. “Lima besar” yang dimaksud merujuk pada kategori musik, drama, webtoon, produk kecantikan, dan makanan, yang semuanya menjadi elemen kunci dalam upaya Lee untuk membangun kembali citra Korea Selatan sebagai kekuatan budaya global.
Plot Twist di Balik Layar: Tantangan Hallyu yang Bikin Deg-degan
Namun, jalan menuju dominasi budaya tidak selalu mulus. Para pemimpin industri memperingatkan bahwa sektor budaya menghadapi kenaikan biaya produksi, pengembalian box-office yang lemah, dan penurunan pendapatan iklan. Semua ini terjadi saat mereka bergulat dengan perubahan layanan streaming dan penggunaan video, serta ancaman baru dari kecerdasan buatan (AI). Ibaratnya, di balik setiap comeback K-Pop yang mulus, ada plot twist finansial yang bikin pusing tujuh keliling.
Untuk meraih sukses jangka panjang, para ahli industri, bahkan bank sentral, telah menyerukan kerangka kerja legislatif. Tujuannya adalah untuk membantu perusahaan domestik bersaing dengan raksasa global seperti Netflix. Ini menunjukkan bahwa pertarungan di panggung global bukan hanya soal kreativitas, tapi juga infrastruktur hukum dan dukungan kebijakan yang kokoh. Bank of Korea dalam laporannya pada Mei lalu mencatat bahwa ekspor konten media yang meningkat didorong oleh 13.000 pekerja pada tahun 2022, lebih dari tiga kali lipat angka tahun 2020. Sebagian besar pekerjaan ini menarik bagi pekerja muda, berpendidikan tinggi, dan terampil.
Mr. Ko Sam-seog, mantan pejabat senior Komisi Komunikasi Korea, menegaskan bahwa kebijakan budaya selama ini sering dianggap sebagai alat pendukung kebijakan luar negeri, ekonomi, dan industri. Namun, ke depan, ia harus menjadi kebijakan kunci yang memimpin sektor-sektor lain. Ini adalah pergeseran paradigma yang signifikan, mengakui bahwa budaya bukan lagi hanya pelengkap, melainkan penggerak utama.
Meskipun sektor jasa Korea Selatan menyumbang 58 persen dari produk domestik bruto, angka ini masih lebih rendah dibandingkan negara-negara maju berorientasi manufaktur seperti Jepang (70 persen) dan Jerman (64 persen). Namun, taruhan besar pada Hallyu ini adalah langkah berani Korea Selatan untuk menunjukkan bahwa kekuatan sesungguhnya tidak selalu datang dari pabrik, melainkan dari hati dan ide yang bisa melintasi batas, mengubah tontonan menjadi tatanan ekonomi baru.