Morgan Wallen: Bintang Country yang ‘Ogah’ Hadir di Pesta Grammy 2026
Pernah merasa jadi panitia acara yang sudah susah payah mengundang guest star papan atas, lalu tiba-tiba sang superstar mengirim pesan singkat, “Maaf, lagi sibuk berkarya, tahun depan saja ya”? Nah, skenario kocak tapi nyata ini sepertinya sedang dimainkan oleh salah satu megabintang country terbesar saat ini, Morgan Wallen. Dengan santai, tim Wallen mengonfirmasi kepada The Hollywood Reporter bahwa musisi bergenre country tersebut tidak akan mengirimkan karyanya untuk dipertimbangkan di ajang Grammy Awards 2026, secara efektif menarik diri dari medan pertempuran bergengsi ini dan membuat banyak kepala garuk-garuk.
Konfirmasi singkat dari tim Wallen memang membuat dunia musik bertanya-tanya. Tidak ada detail atau komentar tambahan yang diberikan selain penegasan keputusan tersebut, meninggalkan spekulasi bak cold case yang menarik untuk dipecahkan. Keputusan ini secara otomatis menghilangkan salah satu nama terbesar dan paling berpengaruh di industri musik dari daftar calon nominasi, seolah Wallen memilih mute notification dari grup WhatsApp Grammy.
Selama bertahun-tahun, Morgan Wallen, yang telah menjelma menjadi superstar country paling dominan di awal 2020-an, seolah tak pernah benar-benar diterima di ‘lingkaran dalam’ para pemilih Recording Academy. Meskipun popularitasnya melesat bak roket, pengakuan dari ajang sekelas Grammy justru sangat minim, bahkan cenderung diabaikan. Ini membuat banyak penggemar bertanya-tanya, apakah Grammy punya filter khusus untuk Wallen?
Baru tahun lalu, namanya akhirnya muncul di daftar nominasi Grammy, itupun berkat kontribusinya pada lagu hit Post Malone yang juga bernuansa country, “I Had Some Help.” Ini menunjukkan bahwa pengakuan yang datang bukanlah dari karya solonya yang sudah mendominasi tangga lagu, melainkan dari kolaborasi yang mungkin lebih ‘aman’ di mata Academy. Agaknya, Wallen harus ‘nebeng’ popularitas orang lain agar bisa dilirik.
Terlepas dari berbagai kontroversi yang menyertainya, termasuk insiden penggunaan ujaran rasis pada tahun 2021 yang sempat menggemparkan, Wallen tetap tak tergoyahkan di singgasana musisi country. Ia membuktikan bahwa dukungan penggemar bisa lebih kuat dari badai kritik, menjadikannya ‘raja tak terbantahkan’ di genre country global. Bahkan, sepertinya ia punya cheat code untuk popularitas abadi.
Albumnya, I’m The Problem, menjadi album terlaris tahun ini dengan margin yang sangat mencolok, bahkan lebih laku daripada kacang goreng di pasar malam. Sejak dirilis Mei lalu, album ini telah bercokol selama 11 minggu di puncak tangga lagu Billboard 200 Albums, sebuah pencapaian yang hanya bisa diimpikan banyak musisi. Jelas sekali, Wallen tidak punya ‘masalah’ dalam hal penjualan album.
Tidak hanya itu, I’m The Problem juga langsung menjadi album country paling banyak di-stream hanya dalam waktu kurang dari sehari setelah rilis. Lagu-lagu dari album tersebut pun silih berganti menghiasi Hot 100 sepanjang musim panas, dengan “What I Want” yang berkolaborasi dengan Tate McRae bahkan berhasil menduduki puncak tangga lagu pada bulan Mei. Statistik ini adalah bukti nyata dominasinya.
Ketika Popularitas Bukan Kunci Gerbang Grammy
Fenomena Morgan Wallen ini seolah menjadi plot twist menarik dalam narasi penghargaan musik. Bagaimana mungkin seorang musisi yang albumnya paling laris dan lagunya merajai tangga lagu, bahkan setelah melewati badai kontroversi, justru ‘dicuekin’ oleh ajang yang seharusnya merayakan keberhasilan artistik dan komersial? Ini seperti menonton film horor yang ending-nya tidak sesuai ekspektasi.
Ini memicu pertanyaan klasik tentang kriteria penentuan nominasi Grammy: apakah semata-mata berdasarkan kualitas seni yang ‘disetujui’ oleh segelintir komite, ataukah juga mencerminkan dampak budaya dan popularitas yang jelas terlihat di masyarakat luas? Kasus Wallen menunjukkan bahwa kadang dua hal ini tidak sejalan, seolah ada jembatan putus antara ‘seni tinggi’ dan ‘selera massa’.
Bisa jadi, Recording Academy masih berpegang pada standar ‘kemurnian’ artistik atau mungkin ada pertimbangan etis terkait kontroversi masa lalu Wallen. Namun, di sisi lain, mengabaikan seorang musisi dengan dampak sebesar Wallen justru bisa membuat ajang tersebut terkesan ‘jauh’ dari realitas industri dan selera pasar. Ini seperti sebuah klub eksklusif yang lupa kalau anggotanya makin sedikit.
Bukan Kali Pertama: Sindiran dari Panggung Dunia
Keputusan Morgan Wallen untuk ‘mengabaikan’ Grammy bukanlah episode pertama dalam serial drama penolakan ini. Beberapa tahun terakhir, ajang penghargaan musik paling prestisius ini memang sering mendapatkan ‘perlakuan dingin’ dari para musisi besar, seolah mereka ingin mengirim pesan tersirat kepada penyelenggara. Mereka tak sungkan untuk memberikan silent treatment.
Masih ingat The Weeknd? Pada tahun 2021, ia secara terang-terangan memboikot Grammy, menuding kurangnya transparansi dalam proses pengambilan keputusan nominasi dan pemenang. Saat itu, album After Hours dan lagu “Blinding Lights” miliknya mendominasi dunia, namun tidak satupun masuk nominasi, memicu kemarahan penggemar dan pengamat. Ini membuat dunia musik heboh seolah ada bug di sistem nominasi.
Menariknya, The Weeknd akhirnya ‘berbaikan’ dengan Grammy pada acara tahun lalu, membuat penampilan kejutan dan membawakan “Cry For Me” serta “Timeless.” CEO Recording Academy, Harvey Mason Jr., bahkan secara terbuka menyambutnya dan mengakui kontroversi tersebut. Ini seperti mantan pacar yang akhirnya mau diajak balikan, tapi dengan syarat.
Pada waktu itu, Mason Jr. menyatakan, “Kritik itu boleh saja. Saya mendengarnya. Saya merasakan keyakinannya.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa Grammy sadar akan pentingnya mendengarkan suara para artis, meski terkadang harus melalui jalan berliku boikot dan protes. Sepertinya mereka belajar bahwa ‘pelanggan’ selalu benar, dalam hal ini, para musisi.
Akankah Grammy Belajar dari Sejarah?
Kasus Morgan Wallen ini, dengan keengganannya untuk berpartisipasi, bisa jadi merupakan sinyal serupa. Apakah ini bentuk protes pasif dari Wallen terhadap kurangnya pengakuan, atau sekadar strategi untuk fokus pada musik tanpa perlu validasi dari panggung penghargaan yang terkesan ‘pilih-pilih’? Hanya Wallen dan timnya yang tahu apa isi direct message mereka ke Grammy.
Hingga batas waktu kelayakan Grammy pada 30 Agustus dan pengumuman nominasi pada 7 November nanti, absennya nama Morgan Wallen tentu akan menyisakan ruang kosong yang besar. Keputusan ini tidak hanya menarik perhatian pada dinamika hubungan antara artis dan ajang penghargaan, tetapi juga menyoroti bagaimana industri musik terus berevolusi, di mana popularitas dan pengaruh kadang tak sejalan dengan apresiasi formal. Mungkin, bagi Wallen, validasi terbesarnya sudah datang dari jutaan penggemar dan penjualan album yang tak terbendung, melebihi sekadar patung gramofon emas.