Mari kita bicara tentang isu yang sedang panas: bagaimana media lokal kita, yang sudah berjuang mati-matian, kini harus bersaing dengan raksasa digital global. Bayangkan kamu berusaha menjual gorengan di depan mal mewah, ya kira-kira begitulah.
Para jurnalis dan asosiasi media baru-baru ini menyuarakan kekhawatiran mereka di depan Komisi I DPR RI. Mereka melihat adanya ketidakadilan dalam persaingan antara media lokal dan platform digital raksasa. Kita bicara soal Google, Meta (Facebook, Instagram), TikTok – nama-nama yang mungkin lebih sering kamu dengar daripada nama kucing tetanggamu.
Agus Sudibyo dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) menggarisbawahi bahwa kurangnya regulasi yang memadai memungkinkan platform digital global perlahan tapi pasti mematikan bisnis media lokal. Ini bukan hanya sekadar soal pendapatan, tapi juga soal kedaulatan ekonomi dan bahkan kedaulatan negara! Serem, kan?
Ketidaktransparanan skema revenue sharing, pembayaran konten yang tidak adil, dan monopoli iklan oleh platform global adalah beberapa masalah utama. Bayangkan, 75% lebih iklan di Indonesia dikuasai oleh segelintir perusahaan teknologi! Gimana media lokal mau napas?
Efeknya sudah mulai terasa. Gelombang PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) melanda belasan perusahaan media lokal, dari Republika hingga TV swasta besar. Bahkan perusahaan media konglomerat seperti Emtek dan MNC Group pun tak luput dari badai. Ini bukan sekadar angka, ini adalah nasib manusia yang kehilangan pekerjaan.
Dewan Pers bahkan memperingatkan bahwa jumlah PHK yang dilaporkan mungkin hanyalah puncak gunung es. Banyak media lokal yang sudah ambruk tanpa sempat terekspos. Situasi ini bukan hanya masalah bisnis, tapi juga ancaman bagi keberagaman informasi yang kita konsumsi.
Lalu, apa solusinya? Para asosiasi media mendesak para legislator untuk mempertimbangkan regulasi yang lebih holistik terhadap platform digital global. Kita butuh “aturan main” yang jelas dan adil, bukan cuma harapan dan doa.
Regulasi Digital: Antara Kebutuhan dan Kekhawatiran
Pemerintah sebelumnya telah mengumumkan akan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) yang mewajibkan platform digital untuk bernegosiasi dengan media lokal terkait kemitraan. Ini termasuk lisensi berbayar, pembagian pendapatan (revenue sharing), dan pertukaran data. Kedengarannya bagus, tapi…
Kekhawatiran muncul bahwa media kecil akan kesulitan bernegosiasi dengan raksasa teknologi karena traffic mereka yang lebih rendah. Jadi, yang gede makin gede, yang kecil makin kecil? Jangan sampe, deh!
AJI (Aliansi Jurnalis Independen) berpendapat bahwa Undang-Undang Penyiaran seharusnya lebih fokus pada penyiaran terestrial, bukan mengatur ranah digital. Mereka mengusulkan Undang-Undang baru yang khusus mengatur platform digital, menjadi “payung hukum” bagi regulasi serupa, termasuk UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Usulan yang masuk akal, kan?
Selain itu, ada juga dorongan untuk memberdayakan lembaga penyiaran komunitas dan mendesentralisasikan penyiaran agar stasiun regional dapat memperoleh manfaat finansial. Jadi, jangan cuma Jakarta yang kebagian rezeki, daerah juga harus kebagian dong!
Digital Feudalism: Ancaman Nyata bagi Kedaulatan Informasi?
Istilah "feudalisme digital" muncul sebagai representasi dari dominasi dan kontrol ekonomi yang mencekik oleh platform digital besar. Mereka mengendalikan akses informasi, pasar iklan, dan akhirnya, masa depan media. Regulasi dapat membantu mencegah hal ini?
Dadang Rahmat Hidayat, dari Universitas Padjadjaran, berpendapat bahwa regulasi yang lebih kuat tidak hanya melindungi bisnis media, tetapi juga kualitas jurnalisme. Ketika perusahaan media terpaksa mengurangi jumlah karyawan dan mengandalkan teknologi, kualitas berita bisa terancam. Berita kan bukan cuma teks, ada jiwa di dalamnya!
Selain monopoli platform digital, kebijakan penghematan pemerintah juga dapat mempengaruhi pendapatan media dari iklan. Kalau anggaran pemerintah dipangkas, iklan juga berkurang, dan media lokal semakin menjerit. Jadi, ini bukan cuma masalah persaingan, tapi juga masalah keberlangsungan hidup.
Solusi Digital: Lebih dari Sekadar Undang-Undang
Kita perlu ekosistem media yang sehat dan berkelanjutan. Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga tanggung jawab kita sebagai konsumen informasi. Dukung media lokal dengan membaca berita mereka, berlangganan newsletter, atau bahkan sekadar follow akun media sosial mereka.
Kita juga perlu lebih cerdas dalam menggunakan platform digital. Jangan cuma jadi konsumen pasif yang menelan mentah-mentah semua informasi yang disajikan. Cari informasi dari berbagai sumber, periksa fakta, dan jangan mudah percaya hoaks!
Masa Depan Media Lokal: Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Masa depan media lokal ada di tangan kita. Dengan regulasi yang tepat, dukungan dari pemerintah dan masyarakat, serta adaptasi terhadap perubahan teknologi, media lokal masih punya harapan untuk bertahan dan berkembang. Yang penting, jangan menyerah!
Inisiatif seperti mendorong literasi digital, mendukung model bisnis yang inovatif untuk media lokal, dan mempromosikan penulisan konten berkualitas tinggi sangat penting. Hal ini akan membantu media lokal bersaing, menghasilkan pendapatan, dan terus melayani masyarakat. Kita perlu memastikan bahwa narasi lokal tidak hilang ditelan algoritma global. Regulasi yang inklusif dan berpihak pada kepentingan nasional adalah kunci utama. Semoga saja bisa terwujud!