Dark Mode Light Mode

Urgensi dan Landasan Hukum Penugasan TNI ke Kejaksaan: Implikasi bagi Supremasi Sipil

Dunia maya heboh. Kenapa? Karena ada drama baru antara TNI dan Kejaksaan. Serius, ini bukan plot sinetron sore. Tapi sebelum kita menyelami lebih dalam, mari kita pahami dulu kenapa ini jadi perdebatan seru.

TNI Jaga Kejaksaan: Beneran Aman atau Cuma Gaya-Gayaan?

Jadi gini, beberapa waktu lalu, beredar surat telegram dari Panglima TNI yang isinya perintah untuk menempatkan personel TNI di Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri seluruh Indonesia. Bayangin, setiap Kejati dijaga sekitar 30 tentara lengkap dengan peralatan tempurnya. Kejari? Sepuluh personel lah cukup. Ini bukan lagi jagain parkiran, ini full security detail.

Pertanyaannya, kenapa tiba-tiba Kejaksaan butuh pengawalan ketat ala film action? Apakah jaksa-jaksa kita lagi dikejar-kejar penjahat super canggih? Atau jangan-jangan ada konspirasi tingkat tinggi yang melibatkan alien dan pajak bumi dan bangunan? Oke, yang terakhir itu agak lebay, tapi intinya, banyak pihak yang merasa kok aneh ya?

Hendardi, Ketua Badan Pengurus Setara Institute, termasuk yang paling vokal mengkritik kebijakan ini. Menurut beliau, tindakan ini bertentangan dengan konstitusi dan sejumlah undang-undang yang mengatur tentang militer dan lembaga sipil. Intinya, TNI seharusnya fokus pada urusan pertahanan negara, bukan jadi satpam Kejaksaan.

Hukum & Hankam: Batas yang Mulai Kabur?

Menurut Hendardi, pengerahan TNI untuk mengamankan Kejaksaan ini menunjukkan gejala menguatnya militerisme dalam sistem penegakan hukum nasional. Ingat, berdasarkan hukum positif Indonesia, TNI itu punya yurisdiksi penegakan hukum internal militer saja. Seharusnya, kata Hendardi, TNI fokus merevisi UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, bukan malah cawe-cawe urusan sipil.

Lalu, apa dasar hukumnya Kejaksaan minta bantuan TNI? Apakah ada ancaman nyata yang membahayakan keamanan jaksa? Atau jangan-jangan, ini cuma akal-akalan untuk mempererat hubungan antara kedua institusi, yang diwarnai agenda politik tertentu? Hendardi bahkan mengaitkannya dengan pembahasan RUU Kejaksaan dan RKUHP yang sedang bergulir di DPR. Hmm, semakin menarik, bukan?

Bahkan MoU (Memorandum of Understanding) antara Kejaksaan dan TNI tentang kerja sama pemanfaatan sumber daya dan peningkatan profesionalisme dalam penegakan hukum, dianggap rentan disalahgunakan. MoU ini membuka peluang keterlibatan militer yang lebih luas dalam sistem peradilan pidana sipil. Yang mana, sekali lagi, bertentangan dengan prinsip supremasi sipil.

Alasan Kejaksaan: Cuma Pengamanan Kantor, Kok!

Tapi tunggu dulu, Kejaksaan punya pembelaan sendiri, kok. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, membantah tudingan bahwa pengerahan TNI bisa memperkuat intervensi militer dalam penegakan hukum sipil. "Intervensi dalam hal apa? Tugasnya (TNI) itu hanya mengamankan kantor," tegasnya. Menurutnya, hal ini tidak berkaitan dengan substansi penanganan perkara.

Jadi, menurut Kejaksaan, ini murni soal pengamanan fisik kantor dan personel. Bukan untuk ikut campur dalam penyidikan atau penuntutan kasus. Ibaratnya, TNI itu cuma bodyguard, bukan pengacara. Tapi, tetap saja, publik bertanya-tanya: seberapa krusial pengamanan kantor Kejaksaan sampai harus melibatkan tentara bersenjata lengkap? Apakah satpam biasa sudah tidak cukup lagi?

Supremasi Sipil: Harga Mati Demokrasi?

Perdebatan ini sebenarnya menyentuh isu yang lebih fundamental, yaitu supremasi sipil. Di negara demokrasi, kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, yang diwakili oleh lembaga-lembaga sipil yang dipilih melalui pemilihan umum. Militer, sebagai alat negara, harus tunduk pada otoritas sipil.

Keterlibatan militer dalam urusan sipil, apalagi dalam penegakan hukum, bisa mengancam prinsip supremasi sipil. Ini bisa menciptakan preseden buruk, di mana militer merasa punya hak untuk ikut campur dalam urusan-urusan yang seharusnya menjadi domain sipil. Kita tentu tidak ingin kembali ke masa lalu yang kelam, di mana militer terlalu dominan dalam kehidupan bernegara.

Apa Kata Netizen?

Tentu saja, drama TNI-Kejaksaan ini menjadi bahan perbincangan hangat di media sosial. Ada yang mendukung, ada yang mengkritik, ada pula yang cuma bikin meme lucu. Yang jelas, isu ini menarik perhatian publik karena menyangkut hal-hal yang fundamental, seperti supremasi sipil, peran militer, dan penegakan hukum.

Sebagian netizen khawatir, pengerahan TNI ke Kejaksaan bisa menjadi sinyal kembalinya dwifungsi ABRI secara terselubung. Ingat dwifungsi ABRI di masa lalu? Jabatan sipil diisi oleh militer, dan kekuasaan militer sangat besar. Tentu kita tidak mau sejarah kelam itu terulang kembali.

Jadi, Apa Kesimpulannya?

Pengerahan TNI untuk mengamankan Kejaksaan adalah isu yang kompleks dan kontroversial. Ada argumentasi pro dan kontra. Tapi yang jelas, kita harus tetap kritis dan mengawasi agar kebijakan ini tidak kebablasan. Jangan sampai, demi alasan keamanan, kita mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil.
Intinya, jangan sampai salah fokus. Kita harus memastikan, penegakan hukum tetap berada di tangan lembaga sipil yang profesional dan akuntabel, bukan malah dimiliterisasi.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

"Luther" Kendrick Lamar & SZA Pecahkan Rekor, Dominasi Hot 100 Minggu Ke-12 Tanda Kekuatan Musik Global

Next Post

Perpaduan Adult Swim dan Metroid Prime Ini, Angin Segar dengan Tempo Gesit